Kasus penetapan UU Cipta Kerja yang marak pada tahun 2021 lalu dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua agar dapat lebih aware dan berhati-hati dalam menggunakan hak suara kita ketika pemilu dan perda.
Hal ini dilakukan supaya nantinya kita tidak menyesal ketika suara kita tidak lagi didengarkan.
Merujuk pada survei yang telah dilakukan oleh Centre for Strategic and International Study (CSIS) pada 15 hingga 22 Maret 2019 (sebulan sebelum pemilu dilaksanakan), tercatat hanya 44,8 persen responden yang mengaku sudah memiliki caleg pilihan mereka.
Sementara, 18,7 persen mengaku akan memilih partai politik dan sisanya 36,5 persen mengaku belum memiliki pilihan baik itu untuk caleg ataupun partai politik.
Dilansir dari Kompas, menurut Anya Fernandez seorang peneliti CSIS mengungkapkan bahwa hal ini dapat terjadi karena perhatian publik terlalu tersedot oleh pemilihan pilpres.
Sehingga, banyak masyarakat yang hanya berfokus untuk memilih calon presiden dan wakil presidennya saja dibandingkan pemilihan legislatif.
Hal ini juga terbukti dengan adanya survei yang sama yang menunjukkan hasil bahwa hanya14,1 persen saja responden yang belum memutuskan pada pemilihan pilpres.
Diketahui bahwa survei CSIS tersebut dilakukan terhadap 2000 responden dengan menggunakan metode acak dan tingkat kepercayaan 95 persen serta margin of error lebih kurang 2,21 persen.
Tentunya bukanlah perkara mudah bagi kita untuk mengenal seluruh calon legislatif, mengingat ada banyak calon DPR, DPD, dan sebagainya.
Sehingga, dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mencari tahu profil dari calon legislatif tersebut satu per satu.
Meskipun begitu, kita juga perlu menyadari betapa pentingnya dan berharganya hak suara kita demi pekembangan dan kemajuan negara kita tercinta.
4. Golput
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih risih dengan golongan putih (golput). Ada pandangan bahwa golput adalah bentuk apatisme atau pembangkangan. Pandangan tersebut kurang benar.
Warga memilih golput karena beberapa alasan. Bisa jadi akses dan fasilitas saat pemilihan umum tidak merata, sehingga sebagian warga tidak dapat memakai hak pilihnya. Namun golput juga bisa didasari oleh pilihan sadar. Golput muncul dari kekosongan sosok yang dirasa mampu untuk memimpin. Setelah melacak jejak, mempelajari visi dan misi calon wakil rakyat atau pemerintah, rupanya tidak ada yang sesuai dengan suaranya. Besarnya jumlah golput juga menandakan ada sesuatu yang salah dengan sistem yang ada dalam suatu negara.
Maka, golput tidak serta merta menjadi apatis atau apolitis. Mereka memilih untuk tidak memilih. Sebagai warga negara yang baik, kita seharusnya menghargai perbedaan tersebut. Jangan saling mencaci atau merasa paling benar. Mari ambil peran masing-masing dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
5. Semasa Orde Baru, kita mengenal adanya dwifungsi ABRI. Selain menjaga keamanan negara, tentara memiliki hak khusus untuk memegang kekuasaan. Kini kebijakan tersebut sudah tidak ada. Tetapi kursi-kursi kekuasaan masih saja dipegang oleh mereka yang dulunya memiliki peran dalam militer atau keamanan negara.
Tidak cukup hanya militer, rezim Joko Widodo mulai menempatkan aparat keamanan, seperti kepolisan pada posisi-posisi penting. Meski orang-orang itu memutuskan untuk mengundurkan diri dari militer atau kepolisian, tetap saja institusi tersebut melekat dalam diri mereka. Jumlah mereka dominan dibanding jumlah akademisi, peneliti, sastrawan, atau seniman yang menduduki kursi pemerintahan.
Seharusnya pemilihan menteri, ketua komisi, atau jajaran lainnya harus memperhatikan latar belakang. Kita tidak ingin menjalankan kehidupan bernegara dengan pendekatan militer seperti Orde Baru. Kita perlu jeli, apakah mereka betul-betul kompeten atau hanya siasat untuk membagi kekuasaan pada lingkaran yang sama.
Baca Juga: Contoh Teks Persuasi Propaganda yang Singkat dan Mudah Dipahami
6. RUU Kekerasan dan Pelecehan Seksual
Berbagai rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam prolegnas. Ada satu RUU Kekerasan dan Pelecehan Seksual yang menjadi perhatian warga dan berbagai organisasi pembela hak perempuan. Bukannya segera mengesahkan RUU yang dibutuhkan rakyat, DPR malah membahas RUU kontroversial, RUU Larangan Minuman Berarkohol.
Dari kedua RUU ini, terlihat sekali bagaimana suara kelompok mayoritas dapat memengaruhi pemerintahan. RUU Kekerasan dan Pelecehan Seksual tidak segera disahkan karena beberapa kelompok masyarakat masing menanamkan budaya patriarkis yang kuat dalam diri mereka. Sementara, RUU Larangan Minuman Beralkohol diajukan karena kelompok tersebut menganggap minuman beralkohol menyalahi norma. Seolah semua orang yang mengonsumsi alkohol adalah kriminal.
Baiknya negara tidak perlu terlalu ikut campur soal moral warga negara. Mengonsumsi alkohol menjadi adat, tradisi, bahkan ritus keagamaan tertentu. Daripada melarang, bukankah lebih baik membatasi dan mengawasi regulasinya dengan tepat. Mari periksa lagi kepentingan apa yang coba diusung melalui RUU yang ada. Apakah hanya berpihak pada kelompok mayoritas, atau memperhatikan kesetaraan hak warga negara.
7. Gerakan pembangkangan Warga Negara
Setiap warga Indonesia yang sadar akan haknya harus siap untuk melakukan gerakan pembangkangan warga negara.
Hal ini perlu dilakukan, terutama apabila agenda nasional berupa berupa Sidang Istimewa (SI) MPR mendatang akhirnya hanya menjadi forum konstitusional bagi para elit politik guna berbagi kesuasaan antar mereka hingga melupakan kepentingan umum masyarakat.
Dramawan W.S. Rendra bersama pengamat politik Eep Saefullah Fatah disertai dengan sejumlah praktisi ekonomi dan seniman dengan lantang menyatakan seruan agar masyarakat melakukan pembanggkangan warga negara.
Hal ini diserukan dalam sebuah konfrensi pers di Kantor Dewan Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (19/7) siang.
Ajakan pembangkangan ini dilakukan sebagai wujud keprihatinan mereka sebagai warga negara atas fenomena arus utama politik dan ekonomi yang semakin menjadikan rakyat sebagai korbannya.
Pembangkangan warga negara harus dilakukan terutama jika proses transisi ke arah demokrasi kian menuju arah elitis dan lebih mengarah pada pembajakan demokrasi oleh kekuatan maupun pikiran yang berpihak pada otoritarianisme.
Hal inilah yang saat ini membayangi proses transisi yang tengah bergulir di negara Indonesia, khususnya jika menyaksikan siding MPR yang kini telah dipersiapkan tak lebih sebagai arena pertaruhan politik kanak-kanak.
Perhelatan mahal ini dibuat sedemikian rupa agar dapat melakukan pergantian kekuaasan.
Sementara itu, agenda mendasar yang perlu dikerjakan bisa membuat rakyat bisa keluar dari krisis ekonomi yang mencekik dan krisis politik yang memuakkan.
Gerakan pembangkangan ini jauh dari sikap anarkis. Gerakan ini ibaratka sebuah obat mujarap yang mampu mengobati kelesuan jiwa agar mampu merebut masa depan yang baik. Oleh karena itu, perlu dibangun konsolidasi antar sesama warga negara dan aturan-aturan main yang demokratis.
Proses sosial, ekonomi, dan politik kini telah berjalan ditengah ketiadaan aturan main bernegara yang demokratis sehingga membiarkan tatanan hidup bernegara dikelola dipolitika.
Sementara ekonomi telah membiarkan tatanan hidup bernegara dikelola di atas aturan main yang compang-camping, tidak utuh dan belum demokratis. Untuk itu mari kita lakukan bersama pembanggkangan warga negara guna meluruskan hal ini.
8. Perpindahan Ibu Kota
Ibu kota negara Indonesia sekarang ini sudah tidak lagi bagus kondisinya, setiap hari macet, polusi udara dan sering terjadi banjir. Kondisi seperti itulah yang membuat pemerintah ingin mengganti ibu kota yang tadinya di Jakarta ke Kalimantan Timur.
Perubahan ibu kota ini ditentang banyak pihak salah satunya adalah para pebisnis. Pebisnis merasa dirugikan kalau ibu kota pindah sebab nantinya yang akan ramai itu di pusat pemerintahan yang baru jadi mau tidak mau harus ikut pindah juga tempat bisnisnya.
Sebenarnya perpindahan ibu kota ini tidak sepenuhnya salah, sebab kalau masih berada di Jakarta akan semakin sulit untuk menjalankan sistem pemerintahan. Jadi baiknya mari terus dukung saja apa yang jadi keputusan pemerintah karena itu untuk kepentingan bersama.
9. Pemilu
Tidak lama lagi kita akan menggelar pesta pemilihan Presiden 2019. Ayo kita gunakan hakk pilih yang kita miliki untuk membangun INdonesia yang lebih baik dan lebih maju. Jangan sampai hak pilih yang kita miliki terbuang sia-sia bahkan dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan lain. OLeh karena itu teman-teman, saudara sebangsa dan setanah air, mari kita gunakan hak pilih kita untuk memilih presiden dengan benar.
10. Perlukah adanya demo di Bawaslu dan KPU?
Tidak terasa pesta demokrasi di Indonesia yang dilakukan setiap lima tahun sekali berakhir. Di mana, KPU juga sudah mengumumkan Joko Widodo dan K.H Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Namun ada segelintir orang yang tidak terima dengan keputusan KPU. Mereka beranggapan bahwa telah terjadi kecurangan yang masif, terstruktur dan sistematis. Gaungan people power dan kedaulatan rakyat terus disuarakan di depan kantor Bawaslu dan KPU. Lantas apakah memang demo itu perlu?
Sebagai negara demokrasi, demo bisa diartikan sebagai cara untuk menyalurkan pendapat. Memang tidak ada salahnya demo dilakukan. Tapi kita harus tahu tujuan dan tata cara demo yang baik. Namun, ternyata demo sudah salah diartikan, bukan lagi cara untuk menyalurkan pendapat, melainkan juga memaksakan kehendak.
Selain itu, perlu digaris bawahi bahwa negara Indonesia bukan hanya negara demokrasi, melainkan juga negara hukum. Artinya setiap tindakan dan perilaku masyarakat sudah di atur dalam undang – undang. Jadi, demo yang dilakukan juga harus sesuai dengan prosedur hukum. Namun apa yang kita lihat, tindakan anarki yang dilakukan telah mencoreng arti kata menyalurkan pendapat sekaligus nama Indonesia. Dengan adanya tindakan hukum, demo tidak seharusnya dilakukan. Apabila memang ada sesuatu yang salah dalam pesta demokrasi kemarin tempuh saja melalui jalur hukum. Tindakan tertinggi berada di tangan MK. MK akan memutuskan segalanya.
Jadi, bisa disimpulkan demo sah – sah saja dilakukan apabila memang sesuai dengan tujuan dan tidak memaksakan kehendak. Selain itu, perlu diingat hukum juga berlaku di Indonesia. Jadi, marilah sebagai warga Indonesia yang baik rangkul segala golongan. Tidak perlu melakukan demo yang berlebihan. Tanpa paslon pilihan kita terpilih, kita bisa membantu memajukan Indonesia. Mari tetap kokoh sifat gotong royong untuk kemajuan Indonesia 5 tahun kedepannya.
Demikian contoh teks persuasi politik yang bisa dijadikan referensi. Semoga bermanfaat.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News