Yogyakarta, Sonora.ID - Diskusi dan Angkringan Sastra digelar di Pendopo Sekretariat Sastra Mbeling kampung Dolahan Kotagede, Jumat (17/03) malam.
Agenda yang diinisiasi Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta ini semarak dengan hadirnya ratusan penikmat sastra.
Malam yang berselimut mendung semakin membawa kedekatan sastrawan beda generasi yang berbaur menampilkan aksi monolog, baca puisi dan juga diskusi. Suasana akrab juga terasa tatkala penikmat sastra dari berbagai latar belakang: warga sekitar, mahasiswa sastra, bahkan turis mancanegara duduk bersila di atas tikar sembari _wedangan_ menikmati menu angkringan. Panggung sastra bernuansa etnik tradisional Jawa, berupa pendopo limasan yang berhias ornamen unik dan apik mencirikan Kotagede di masa lalu.
Sastrawan muda Noorty Ida Ayuningrum membacakan puisi karya Emha Ainun Nadjib berudul : 99 Untuk Tuhanku, Achika Afriyati membaca karyanya sendiri berjudul Bhineka Tunggal Ika, FX. Joko Sarwono membaca Geguritan berjudul Bebadra, Angin, Kidung Mawar.
Juga penampilan pertunjukan Sastra Ngudarasa. Dua karya sastra ngudarasa Mustofa W Hasyim berjudul Ki Ageng Miskin dibawakan oleh Puji Widodo dan Telunjuk Sunan Kalijaga oleh Tegar Imani. Penampilan ini sangat memukau penikmat sastra yang hadir.
Baca Juga: Kisah Pesugihan Bakul Angkringan yang Pakai Lapak Bekas Kuburan
Tokoh masyarakat Kotagede Heniy Astiyanto mengatakan bahwa Sastra Mbeling adalah paguyuban seni sastra yang didirikan pada 2015 oleh almarhum Brisman HS dan Aris Purwoko. Saat ini dimotori oleh Erwito Wibowo dan Mustofa W Hasyim. “Kita berkesenian di Kotagede yang rasa budayanya sangat melekat. Terimakasih kepada Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta yang telah memfasilitasi agenda ini,” tuturnya.
Diskusi sastra disampaikan oleh Achmad Charis Zubair, Erwito Wibowo dan Mustofa W Hasyim, dengan moderator Dinar Setiawan.
Pada kesempatan itu Charis menyampaikan pengalaman bersastra di Kotagede. Sebagai pelaku sastra bersama komunitas sastra yang tumbuh di kampung Kotagede ia menjadi saksi aktivitas sastra yang berbaur dengan warga sejak lama.
Menurut Charis lingkungan sosial budaya di Kotagede memang mendukung tumbuhnya ekosistem sastra. Dulu di Kotagede tahun 1930-an sudah ada toko buku SN 26 dan toko buku Merpati. Kemudian diikuti hadirnya perpustakaan Pemuda Muhammadiyah dan perpustakaan Apik, juga pendopo-pendopo warga yang menjadi tempat aktivitas sastra.