Lampung, Sonora.Id - Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan sering menekankan pentingnya memaksimalkan kemampuan sumber daya manusia. Salah satu caranya melalui literasi. Tolak ukur kemajuan bangsa dilihat dari tingkat indeks literasinya.
“Budaya literasi adalah soal habit (kebiasaan). Masalah sumber informasinya apakah dari media fisik atau digital itu hanyalah persoalan teknis,” jelas Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim pada gelaran talk show Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM) di Provinsi Lampung, Senin, (20/3/23).
Indonesia wajib mencermati bonus demografi yang akan diterimanya dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang. Apakah turut mendorong kemajuan literasi masyarakat atau tidak? Karena percuma jika potensi yang dimiliki tidak sanggup menjadikan kualitas manusia Indonesia menjadi unggul dan berdaya saing.
“Kita sudah merdeka selama 77 tahun. Masyarakat Indonesia harus membuktikan dirinya mampu memproduksi barang atau jasa yang memiliki manfaat tinggi di dunia internasional. Berani menjadi negara produsen, bukan konsumen,” terang Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando.
Oleh karena itu, pemerintah mendorong aktivitas usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk lebih berkreasi, berinovasi, dan produktif. Pada tahun lalu (2022), pemerintah telah menggelontorkan dari APBN untuk kepentingan UMKM sebesar Rp 526 triliun. Belum termasuk yang dianggarkan melalui APBD sebesar Rp 536 triliun, dan pos BUMN sejumlah Rp 425 triliun.
Tentu saja, agar market (pasar) UMKM ini meluas diperlukan teknologi yang menunjang eksistensi UMKM, seperti kehadiran media online yang akhir-akhir sering digunakan untuk menjual produk barang/jasa tertentu.
Di sinilah diperlukan peran aktif pemerintah daerah dan semua lembaga yang terkait. Mereka harus punya metode baru, konsep dan teori baru agar UMKM terbantu dalam penyebarluasan produk atau pun kreatifitasnya. Dan itu tidak bisa di dapat kecuali dengan membaca.
“Ilmu pengetahuan diperoleh dari membaca. Hingga saaat ini tidak ada transfer teori dan praktik dari buku ke otak selain membaca,” tegas Kepala Perpusnas.
Salah seorang pelaku UMKM di provinsi Lampung yang berhasil, Mulyadi Alkahfi, mengakui tanpa membaca dan literasi, mustahil produk pisang bekunya dapat dikenal luas dan disukai. Berbeda dengan kebanyakan orang, Mulyadi justru merintis karis dengan modal nol pengalaman. Berawal dari industri rumahan dan tidak punya bekal pengetahuan berbisnis.
Beruntungnya, sang istri memiliki kemampuan bermain media sosial dan online yang dari situlah kemudian produk kemasannya dipasarkan.
“Alhamdulillah, dari membaca setiap perkembangan bisnis kini bisa diamati untuk dijadikan referensi pengembangan produk,” aku Mulyadi.
Ia pun menambahkan dalam bisnis tidak hanya berbicara soal produk yang enak tapi juga fasilitas penunjang yang lain yang membantu dalam pemasaran, seperti sertifikat halal.
Keberhasilan Mulyadi mengembangkan bisnis pisang bekunya merupakan bukti literasi berjalan. Karena ia mampu memproduksi barang/jasa dari apa yang dibacanya. Terus melakukan kreasi dan inovasi agar kesinambungan bisnisnya berjalan.
“Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial (TPBIS) menjadi program yang diandalkan pemerintah, dalam hal ini Perpustakaan Nasional, dalam mendorong masyarakat berlatih kemandirian untuk kesejahteraan hidupnya,” pungkas Pustakawan Utama Sri Sumekar.