Sejarah malam 1 Suro
Sejarah malam 1 Suro bisa ditelusuri dari zaman Sultan Agung yang memperkenalkan konsep Muharram sebagai bulan Sura.
Dikutip kompas.com, dalam buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa penanggalan tahun Hijriah ini kemudian diadopsi oleh masyarakat Muslim Jawa dan ditetapkan oleh Sultan Agung pada abad ke-17 sebagai penanggalan aboge.
Meski dalam penanggalannya kerap memiliki selisih satu hari, namun angka tahunnya tetap mengikuti tahun Jawa yang lebih muda 78 tahun daripada tahun Masehi.
Sultan Agung melakukan ijtihad penting dalam menyatukan budaya Islam dan budaya Jawa melalui penanggalan ini.
Ia pun berkontribusi dalam memaknai malam 1 Suro sebagai malam yang cukup sakral, di mana masyarakat Jawa diharuskan untuk berdoa dan beribadah kepada Sang Pencipta.
Dalam perayaannya, malam 1 Suro diperingati dengan berbagai tradisi masyarakat.
Pengamat Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Bani Sudardi mengatakan jika peringatan Malam Satu Suro dimaknai sebagai tanda pergantian waktu.
Waktu ini sangat penting karena berhubungan langsung dengan siklus kehidupan, ritual, perhitungan dan lainnya.
Baca Juga: 5 Larangan Malam Satu Suro: Memahami Tradisi dan Kepercayaan
Tradisi malam 1 Suro
Tradisi malam satu Suro sangatlah beragam, dan tentunya mencerminkan keberagaman dari budaya Indonesia.
Di wilayah Solo misalnya yang dirayakan dengan cara kirab, baik kirab pusaka dan kirab Malam Satu Sura.
Kirab ini tujuannya untuk memohon keselamatan dan sebagai media introspeksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Selain Solo, di Yogyakarta juga mengadakan ritual khusus dengan membawa gunungan tumpeng, keris, dan benda pusaka lainnya dalam kirab Malam Satu Suro.
Dari sini kita bisa melihat bahwa malam satu Suro merupakan tradisi yang kaya dan memiliki makna yang mendalam.
Bukan hanya jadi pergantian waktu tapi juag sebagai sarana introspeksi dan refleksi diri bagi masyarakat Jawa.
Baca berita update lainnya dari Sonora.ID di Google News