Foto: Direktur Eksekutif Surveilans, Pemeriksaan Statistik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Priyanto Budi Nugroho (kedua dari kiri), Kepala Kantor Perwakilan BI Jabar Erwin Gunawan Hutapea (tengah), Pengamat Politik UNPAD Prof. Muradi (berdasi) pada Dialog Ekonomi IWEB di Savoy Homann Bandung, Selasa (18/7/2023)/Gun (
)
Bandung, Sonora.ID - Walau tahun 2023 dianggap sebagai awal persiapan dari pelaksanaan Pemilu 2024 (Pilpres dan Pilkada), namun hal tersebut diprediksi tidak akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional dan juga di daerah.
Bahkan jika mampu melihat peluang, sektor ekonomi akan tumbuh positif tahun depan.
Sebagai pembicara pertama dalam Dialog Ekonomi Ikatan Wartawan Ekonomi Bisnis (IWEB) yang bertema: "Membangun Optimisme Ekonomi di Musim Kontestasi, Menelisik Tantangan dan Peluang Ke Depan", Direktur Eksekutif Surveilans, Pemeriksaan Statistik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Priyanto Budi Nugroho memaparkan, bahwa yang perlu lebih diwaspadai adalah resiko perlambatan ekonomi global. Sebab OECD memperkirakan ekonomi global akan tumbuh 2,7% pada 2023 dan 2,9% pada 2024, lebih rendah dari pertumbuhan 2022 sebesar 3,2%.
"Isu inflasi masih membebani pemulihan ekonomi. OECD memproyeksikan inflasi kawasan akan berada di level 6,6% pada 2023 kemudian melandai ke level 4,3% pada 2024, dan inflasi inti diperkirakan masih persisten tinggi," ucapnya usai acara Diskusi Ekonomi dan launching Ikatan Wartawan Ekonomi Bisnis (IWEB) di Bandung, Selasa (18/7/2023).
"Risiko tambahan yang perlu diwaspadai antara lain ancaman resesi, fragmentasi geopolitik, peningkatan beban utang dan isu climate change," tambah Prayitno.
Kondisi lokal sendiri masih cukup baik. Kinerja perekonomian domestik tumbuh cukup kuat. Q1 2023 ekonomi tumbuh 5,03% (yoy).
OECD memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 4,7% pada 2023 dan 5,1% pada 2024, stabil dibanding proyeksi periode Maret 2023.
Indeks Keyakinan Konsumen Bank Indonesia (IKK; 127,1), indeks Penjualan Retail (IPR; 223,2) berada dalam zona optimis hingga Juni 2023 sementara indeks Kepercayaan Konsumen LPS (109,1).
Kemudian aliran modal asing masih terus masuk ke pasar obligasi dan pasar saham hingga 14 Juli 2023 (Rp103,51 triliun ytd).
"Kita survive menghadapi pandemi Covid-19, sekarang sudah mulai pulih. Kita optimistis Akan kembali take off jika kontestasi politik ini berlangsung lancar, tentu tetap menjaga kewaspadaan terkait tahun politik ini," kata Prayitno.
Sedangkan pembicara berikutnya, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jabar, Erwin Gunawan Hutapea, menyatakan penyelenggaraan Pilkada atau Pilpres tahun depan akan meningkatkan pengeluaran atau konsumsi pemerintah di Jabar.
Peningkatan biasanya terjadi sejak 1 triwulan sebelum periode Pemilu berlangsung dengan tingginya pengeluaran untuk perlengkapan dan persiapan penyelenggaraan pemilu.
"Pengeluaran pemerintah tersebut memberikan efek peda sektor ekonomi lain seperti sektor industri dan perdagangan dan sektor lainnya," kata Erwin.
Erwin menambahkan pilpres memberi dampak berbeda dimana tahun 2014 dan 2019 berdampak positif sedangkan dalam Pilkada justru berdampak negatif. Hal itu karena diselenggarakan dalam waktu yang berbeda dengan jeda cukup lama.
Sehingga diprediksi Pilkada dan Pilpres yang diadakan bersamaan tahun 2024 diperkirakan dampak positifnya lebih besar dibandingkan dampak negatifnya, karena diselenggarakan hampir bersamaan, banyak sektor ekonomi yang tumbuh memanfaatkan momen politik 2024.
Menurut Erwin, masyarakat saat ini sudah semakin matang dalam menjalani Pilpres atau Pilkada dan jauh lebih kuat. Indikasinya mampu melewati pandemi Covid-19 yang jauh lebih berat memberikan tekanan pada kondisi ekonomi nasional dan global.
"Historis 2014 dan 2019, kita bisa melewati tahun politik dengan baik, ekonomi juga bisa tumbuh positif," tegasnya.
Apalagi saat ini kondisi ekonomi terlihat membaik. Terlihat dari kondisi perekonomian nasional tumbuh 5,03% (yoy) pada triwulan 1 2023, sementara perekonomian Jawa tumbuh 4,96% (yoy). Dimana perekonomian Jabar berkontribusi 22,35% terhadap perekonomian Jawa.
Kedepan menurutnya perlu ada keseimbangan sektor industri padat modal dan padat karya. Karena kondisi saat ini masih belum imbang, dimana padat modal masih sekitar 66,3 persen.
Sektor Industri padat modal pada umumnya adalah industri besar (alat angkut, barang logam) sedangkan sektor industri padat kaya pada umumnya adalah industri kecil (makanan, tekstil dan pakaian jadi). Industri padat modal memiliki nilai tambah lebih tinggi yang sebagian besar berada di Jabar Utara dan kota Bandung sehingga memberikan kontribusi pendapatan regional lebih tinggi.
Untuk meningkatkan keseimbangan kesejahteraan masyarakat maka diperiukan keseimbangan antara industri padat Sebaran industri Besar dan Sedang (IBS).
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik Unpad Bandung Prof. Muradi mengatakan berdasarkan hasil survei beberapa lembaga survei menunjukan jika tidak akan muncul masalah genting pada kontestasi politik, baik Pilpres dan Pilkada 2024.
"Menjelang 2 bulan penetapan capres/cawapres tidak ditemukan indikator yang mengkhawatirkan," tegasnya.
Stabilitas politik menurutnya masih sangat terjaga. Ia pun optimis pertumbuhan ekonomi nasional akan bagus.
Dari sisi pengusaha, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ikut berkomentar terkait optimism ekonomi di musim kontestasi politik 2024.
Sekretaris DPP Apindo Jawa Barat Martin Chandra mengatakan, pesta demokrasi di tahun 2024 dipastikan tak mempengaruhi sisi ekonomi para pengusaha.
Sebabnya, bisnis tidak melihat faktor agama, suku/ras sebagai indikator kesuksesan pebisnis.
Selain itu, pelaksanaan Pemilu pun bukan yang pertama kali digelar di Indonesia, maka hal-hal yang dikhawatirkan bakal berdampak pada para pengusaha pun sudah bisa diatasi.
“Pemilu di Indonesia itu bukan yang baru dua atau tiga kali dilaksanakan, tapi sudah lebih dari 10 kali. Jadi ini no isu, atau kita berjalan saja,” kata Martin.
Martin mengungkapkan, satu hal yang perlu dikhawatirkan menjelang Pemilu adalah regulasi pemimpin baru dalam hal investasi atau kebijakan bagi para pengusaha.
Menurutnya, lumrah terjadi apabila ada pergantian kepala negara atau daerah, maka ikut berganti juga kebijakannya.
Meski begitu, ia meyakini para pengusaha tak perlu khawatir akan hal ini sebab ada hubungan mutualisme antara pemerintah dengan pengusaha yang selama ini terjalin.
“Biaya kontestasi Pemilu, biaya capres cawapresnya mohon maaf, uangnya pasti dari dunia usaha, dan ini sudah tahu sama tahu,” tuturnya.
Sementara itu, Akademisi FEB Unpad Fery Hardiyanto menyampaikan, satu hal yang disoroti menjelang Pemilu ada isu ekonomi yang menggemparkan.
Fery pun memberi contoh isu ekonomi pada Pemilu 2019 adalah Indonesia diprediksi menjadi sebuah negara yang gagal.
Isu itu muncul dilatarbelakangi dengan serentetan krisis ekonomi global, seperti Moneter 1998, finansial sektor di tahun 2008-2009, dan Pandemi Covid-19 di tahun 2020.
Ia pun membahas soal kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo yang kerap kali dinilai merugikan masyarakat atau para pengusaha.
Salah satunya ialah Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang disahkan DPR RI.
Menurutnya, kebijakan tersebut justru bisa membantu kepemimpinan presiden di periode selanjutnya.
“Kenapa Jokowi selalu dianalogikan sesuatu yang tidak baik dalam mengeluarkan kebijakan ekonom? Justru yang dilakukan pemerintah ialah meletakkan dasar yang sangat bagus untuk presiden berikutnya, contohnya adalah penanganan pandemi,” ujar Fery.
Dalam penanganan pandemi Covid-19, Indonesia dinilai hanya terpuruk selama 6 bulan saja. Di tahun 2021, perekonomian mulai bangkit dan bergeliat.
Kegiatan Dialog Ekonomi Ikatan Wartawan Ekonomi Bisnis ‘Membangun Optimisme di Musim Kontestasi, Menelisik Tantangan dan Peluang ke Depan’ ini juga didukung oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Selain dialog, kegiatan ini pun sekaligus menjadi launching organisasi Ikatan Wartawan Ekonomi Bisnis (IWEB).