Seorang bajingan bertugas menarik hasil panen yang dihasilkan oleh masyarakat Mataram (meliputi Yogyakarta, dan eks-Karesidenan Surakarta).
Di masa penjajahan, mobilitas masyarakat pribumi mengandalkan bajingan.
Hal ini pun hanya dapat dirasakan oleh masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah ke atas.
Sementara yang tidak mampu, harus mengangkutnya dengan tenaga sendiri.
Setelah Indonesia merdeka, bajingan difungsikan untuk membawa material.
Dikutip dari Perancangan Buku Nilai Sejarah Dan Filosofi Mataram Islam Pada Gerobak Sapi oleh Desanti Arumingtyas Dyanningrat, dijelaskan bahwa bajingan merupakan singkatan dari bagusing jiwo angen-angening pangeran atau berarti orang baik yang dicintai Tuhan.
Seiring berkembangnya waktu, di erat awal 1900 hingga 1940-an bajingan mulai langka.
Kehadirannya juga kerap dikeluhkan lantaran berjalan lambat sehingga tidak efektif.
Alhasil para penumpang pun mengeluh dan terlontarlah kalimat:
"Bajingan kok suwe tekone" (Bajingan kok lama datangnya), atau "Bajingan gaweane suwe!" (Bajingan lambat kerjanya/jalannya).
Banyaknya keluhan tersebut perlahan membawa kata 'bajingan' ke dalam pergeseran makna.
Semula merupakan sebutan untuk profesi hingga akhirnya jadi sebutan berupa umpatan kasar.
Demikian ulasan tentang arti bajingan yang bermula dari sebutan untuk profesi mulia hingga kini jadi sebuah makian.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News