Pertama, Perppu 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja merupakan reinkarnasi atau penjelmaan kembali UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Putusan MKRI No. 091/PUU-XVIII/2021, tanggal 25 Nopember 2021 merupakan bentuk PEMBANGKANGAN Pemerintah terhadap konstitusi.
Kedua, dengan membentuk Perppu Cipta Kerja dan mengabaikan Putusan MKRI No. 091/PUU-XVIII/2021 PEMBANGKANGAN Presiden RI terhadap Sumpahnya yang diucapkan berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 yang lafalnya berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.
Ketiga, selama hampir delapan bulan lamanya sejak Presiden menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 pada 30 Desember 2022 hingga hari ini, 21 Agustus 2023, Gekanas tidak menemukan bukti yang kongkret, obyektif dan faktual yang menunjukkan adanya kegentingan yang memaksa, yang dimaknai keadaan darurat atau tidak normal, sehingga Presiden benar-benar patut dan layak menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022, tentang Cipta Kerja
Keempat, dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 MK berpendapat, syarat adanya kegentingan yang memaksa, yaitu:
(1) Adanya keadaan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang undang:
(2) Undang Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
(3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Kelima, sejak putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2021, diucapkan pada 25 Nopember 2021, sampai hari ini tidak ada kekosongan hukum. Karena keputusan MKRI : “UU No. 11 Cipta Kerja, masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan.
Keenam, dengan demikian semua Peraturan turunannya, tetap berlaku dan dapat dijalankan. Disamping itu, juga ada UU No. 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan yang substansi materi muatannya hanya sebagian dicabut oleh UU No. 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja.
Ketujuh, selain itu, fakta menunjukkan, pertumbuhan ekonomi nasional cukup baik. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi mencapai di atas 4, 5%-5%, Bahkan Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan di gedung DPR/MPR/DPD RI pada 16 Agustus 2023, menyatakan optimis pertumbuhan ekonomi tahun 2024 dapat mencapai 5,2% dan Inflasi 2,8%.
Fakta lainnya, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 68 Tahun 2021, tentang Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 PUU-XVIII/2021, atas Pengujian Formil UU No. 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja, Kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 5 Tahun 2021, yang mengatur ketentuan Uang Pesangon dan Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Edaran Nomor B-M 383/HI.01.00/xi/2021, tanggal 9 Nopember 2021 perihal Penyampaian Data Perekonomian dan Ketenagakerjaan dalam Penetapan Upah Minimum Tahun 2022. Semua itu dilakukan pemerintah sebagai penguatan pemberlakuan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, berikut seluruh peraturan turunannya.
Kedelapan, Gekanas menilai dan mengecam pembentuk Undang-undang yang selama 13 (tiga belas) bulan pasca diucapkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2021, tanggal 25 Nopember 2021, terbukti secara nyata Pemerintah dan DPR tidak mempunyai itikad baik untuk taat dan mematuhi perintah hukum, dengan tidak memperbaiki UU No. 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja diantaranya adalah berkaitan dengan perubahan typo dan redaksional, dan malahan membentuk Perppu dengan mengadopsi seluruh materi UU Cipta Kerja No. 11/2020. Oleh karena itu, Gekanas menuntut Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan membatalkan UU No. 6 Tahun 2023 secara keseluruhan.