Hingga saat ini, kita dapat melihat bagaimana sejarah tersebut diingat dan dirayakan setiap tahunnya pada 22 Oktober. Para peserta upacara yang saya sanjungi, penetapan ini tentu tidak serta merta dibuat untuk mengingat sejarah saja.
Lebih dari itu, kenangan tentang sosok tokoh-tokoh bangsa pada masa pasca kemerdekaan perlu kita ingat juga.
Sebagai bentuk penghormatan sekaligus rasa syukur, pahlawan yang berjihad kala itu berhasil membawa kita ke masa tenteram sekarang. Nama-nama seperti KH. Hasyim Asy’ari, H.O.S Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, Maria Josephine Walanda, dan lain-lainnya patutnya kita kenang.
Mereka telah berjuang demi masa depan, melawan penjajah yang ingin mendapatkan kembali tanah air yang saat itu sudah menyatakan merdeka.
Peserta upacara sekalian, resolusi jihad yang telah ditanamkan pada masa lalu sekali lagi harus kita syukuri.
Kemerdekaan yang ingin direnggut dipertahankan dengan metode jihad fi sabilillah. Terlepas dari berbagai tokoh lain, para kiai serta santri-santrinya ikut menghalau pergerakan bangsa asing sehingga kemerdekaan dapat dipertahankan.
Bukan hanya mempertahankan diri, namun bergerak maju untuk mengusir mereka semua. Kobaran semangat pun dapat terlihat dari berbagai gerakan di seluruh Indonesia.
Para peserta upacara yang saya hormati, sejarah ini ternyata membawa persatuan bukan hanya di dalam satu kelompok agama saja.
Akan tetapi, berhasil menyatukan seluruh golongan, kalangan, ras, atau mereka yang memiliki latar belakang berbeda-beda.
Salah satunya termasuk perbedaan yang berkaitan dengan keyakinan. Dengan begitu, kita sepatutnya bisa mensyukuri pengadaan peringatan Hari Santri Nasional 2023 ini.