Sonora.ID - Selama berabad-abad, pilihan mode wanita terbatas dan tidak mengutamakan kenyamanan.
Mulai dari korset berbahan tulang ikan paus yang diikat kencang-kencang, sepatu hak tinggi "chopines" dengan tinggi mencapai nyaris satu meter, dan rok lebar dengan kerangka kaku yang lebarnya mencapai satu setengah meter, slogan “beauty is pain” rasanya menjadi “beauty is dangerous” kala itu.
Cara berpakaian wanita juga telah diatur secara ketat oleh institusi negara, agama, dan masyarakat.
Pemakaian celana bagi wanita baru-baru saja ini dianggap lazim karena celana dianggap tidak feminin. Pada abad ke-19 di Amerika, memakai celana dapat membuat wanita dipenjara.
Pada 2009, hal ini masih menjadi isu di Sudan di mana tiga belas wanita ditangkap karena alasan yang sama. Kemudian pemakaian hijab yang kini masih menjadi perdebatan di Perancis, yang juga sempat dilarang di masa Orde Baru demi mendefinisikan identitas nasional sekaligus mencegah pengaruh fundamentalisme Islam.
Kini di abad ke-21, saat berkarir bagi wanita adalah hal yang lumrah dan kebebasan berpakaian turut mendukung, saat korset, rok yang menyiksa, dan hak tinggi tak lagi menjadi item wajib, tren oversize muncul sebagai mode baru yang menyisakan ruang bagi tubuh untuk leluasa bernapas. Bahu besar, lengan ekstra panjang, kain yang menggantung lebih rendah dari pinggang dan jatuh dengan longgar, telah menjadi siluet yang tak lagi aneh.
Risa Maharani, desainer pakaian wanita asal Semarang yang sempat menjajal show runaway di Paris menjadi salah satu kontributor dalam produksi mode oversize di ranah lokal. Dirinya berkomitmen mendukung wanita karir dengan fit oversize yang feminin. Paradigma industri fesyen telah bergeser, dan untuk menjadi cantik hari ini tidak lagi perlu mengorbankan kenyamanan. “Beauty is pain” rasanya tidak lagi cukup relevan hari ini.
Baca Juga: Cantik Dan Elegan Inilah Rok Plisket
Kebangkitan mode oversize
Mengawali momentumnya di tahun 80-90an di kancah hip-hop, oversize sebenarnya tak pernah pergi kemana-mana.