Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yakni Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar, yang membahas penyimpangan yang terjadi selama proses Pemilu di Indonesia yang menerapkan praktik demokrasi.
Pembuatan film Dirty Vote adalah hasil kolaborasi antar lembaga sipil.
Joni Aswira, Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) dan produser film ini, menyatakan bahwa dokumenter tersebut merekam hasil riset kecurangan pemilu yang telah dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil.
Biaya produksi Dirty Vote dikumpulkan melalui penggalangan dana (crowdfunding), sumbangan individu, dan lembaga.
Joni menyebut bahwa biaya produksi film ini dibiayai secara bersama.
Produksi Dirty Vote dilakukan dalam waktu singkat, sekitar dua minggu, mencakup riset, produksi, penyuntingan, hingga peluncuran, bahkan lebih singkat dibandingkan dengan film End Game KPK (2021).
Sebanyak 20 lembaga terlibat dalam kolaborasi film ini, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, dan Greenpeace Indonesia.
Film ini telah mendapatkan respon dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Menurut Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman, film ini cenderung mengandalkan narasi kebencian dan dianggap memuat tuduhan yang tidak berdasar secara ilmiah.
Demikian paparan mengenai berbagai fakta film 'Dirty Vote' sebagaimana di atas.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News
Baca Juga: Sinopsis 'Madame Web', Ketika Dakota Johnson Jadi Superhero Wanita!