Merujuk Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dijelaskan bahwa terdapat 14 tugas pokok TNI dalam OMSP, diantaranya membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Bukan hanya di dalam negeri, TNI Angkatan Udara (TNIAU) juga konsisten menjalankan tugas-tugas pokoknya dalam OMSP. Selain di Luwu, Sulawesi Selatan dan berbagai daerah terdampak bencana lainnya, tugas menyalurkan bantuan juga dilaksanakan ke warga Palestina di Gaza. Lewat udara dengan pesawat Hercules C130 J (A-1340) milik TNI AU, pemerintah Indonesia dan Yordania berhasil mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina di Gaza. Dalam menjalankan tugasnya, TNI bersama The Royal Jordanian Armed Forces (RJAF) melakukan misi dropping bantuan ke Gaza via udara.
Bantuan kemanusiaan ke Gaza yang diterjunkan berupa paket bantuan sebanyak 20 paket seberat masing-masing 160 kg, yang berangkat dari King Abdullah II (KA2) Airbase Airport (OJKA) di Zarqa, Yordania. Pengiriman bantuan dilakukan dengan metode penerjunan low cost low altitude (LCLA), dengan rute KA2-SAS-KA2.
Mengenai kiprah TNI AU dalam menjalankan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP), khususnya operasi kemanusian didalam dan luar negeri, Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengapresiasi peran tersebut. Ditengah tantangan dan keterbatasan yang dihadapi, TNI AU tetap mampu menjaga kesiapannya untuk melaksanakan berbagai tugas OMSP didalam dan luar negeri.
“Peran serta TNI AU tentu patut diapresiasi. Artinya ditengah keterbatasan, TNI AU tetap mampu melaksanankan berbagai tugas operasi militer selain perang didalam dan luar negeri,” ujar Khairul Fahmi kepada Sonora, Rabu (05/05/2024).
Khairul juga menekankan ditengah luasnya wilayah Indonesia dan tantangan kedepannya, TNI AU perlu memperhatikan tiga aspek dalam pembangunan kekuatan udara Indonesia. Ketiga aspek itu masing-masing yaitu aspek organisasi, teknologi dan kesiapan operasi.
Pertama, untuk aspek organisasi, Khairul berpendapat TNI AU harus mampu mengembangkan organisasi agar sesuai ragam ancaman dengan mempertimbangkan kondisi geopolitik-geostrategis, dan mampu menjawab tantangan dan mengantisipasi kendala. Kedua, aspek teknologi, yang berarti TNI AU membutuhkan alutsista udara yang bukan saja modern, tapi juga siap tempur, memiliki efek deteren yang memadai serta mampu beroperasi multimisi dan multi peran. Hal tersebut, tambah Khairul, perlu dimiliki pesawat tempur, pesawat angkut, kemampuan pertahanan pangkalan, alutsista anti-serangan udara, bahkan sistem radar TNI AU.
“Ketiga, yakni aspek kesiapan operasi. Ini meliputi upaya memelihara kesiapsiagaan tempur dan meningkatkan kecakapan SDM dalam pengembangan strategi operasi, serta penggunaan dan pemeliharaan alutsista. TNI AU perlu memastikan alutsista dalam keadaan terawat, terpelihara dan siap tempur, juga memastikan ketersediaan dukungan logistik,” tambahnya
Ditengah ancaman konflik global dan tekanan geopolitik, Khairul menegaskan bagi Indonesia, kekuatan udara nasional berperan penting menjaga kedaulatan NKRI di udara. Dengan keberadaan pesawat tempur andal, TNI AU akan disegani di kawasan. Maka dari itu, dalam konteks postur pertahanan udara Indonesia, belanja alpalhankam-alutsista harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan upaya meningkatkan kemampuan TNI AU.
"Karena itu harus selalu dipastikan bahwa usulan-usulan belanja TNI AU benar-benar berbasis kebutuhan bukan sekadar keinginan," ungkap Khairul.
Mengenai kekuatan udara Indonesia, Khairul mengakui masih belum cukup memadai untuk menjaga ruang udara sepenuhnya. Apalagi untuk benar-benar menjadi kekuatan yang disegani dunia. Indikatornya, bisa diilihat dari capaian Minimum Essential Force (MEF) TNI AU yang masih paling bawah.
"TNI AU baru separuh capaian, baru mendekati 50 persen MEF. Itu artinya masih tertinggal dengan matra lain sehingga tentu saja perlu menjadi perhatian supaya peremajaan maupun pengembangan kekuatan ini tetap proporsional. Termasuk juga dalam hal pengembangan Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU sebagai kekuatan pemukul andalan matra udara," tambahnya
Ke depan, Khairul Fahmi berharap TNI AU juga harus terus memperkuat kemampuan interoperabilitas baik antar kesatuan di lingkungan TNI AU sendiri, maupun antarmatra. Ia menjelaskan interoperabilitas adalah kemampuan bertindak bersama secara koheren, efektif dan efisien untuk mencapai tujuan taktis, operasional dan strategis.
Secara khusus, interoperabilitas memungkinkan kekuatan, unit dan/atau sistem untuk beroperasi bersama, berkomunikasi dan berbagi kesamaan doktrin dan prosedur, serta infrastruktur dan basis masing-masing. Interoperabilitas akan mengurangi duplikasi, memungkinkan pengumpulan sumber daya dan menghasilkan sinergi.
"Jadi TNI AU harus memproyeksikan kebutuhan alpalhankam-alutsista dan kompetensi prajurit yang mampu menghadirkan efek gentar di udara sekaligus memberikan dukungan serangan darat maupun operasi-operasi maritim. Artinya, interoperabilitas TNI diharapkan juga akan meningkat dengan dukungan kehadiran peralatan persenjataan dan personel yang andal," pungkasnya.