Pengamat Ekonomi UNPAS Acuviarta Kartabi (tengah) Ketua API Danang Girindrawardana (rompi marun), Ketua Umum Tim Neraca BPS Jabar Yuni Anggoro (kerudung coklat) pada Diskusi Ekonomi IWEB di Menara Kadin Jabar Lt. 6 Jl Sukabumi Kota Bandung. (
)
Bandung, Sonora.ID - Walau terbilang perekonomian Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang menggembirakan, industri dalam negeri masih menghadapi tekanan yang signifikan, seperti masih tingginya ketergantungan terhadap bahan baku impor, ditambah naiknya harga bahan baku global dan ketidakstabilan pasokan akibat gangguan rantai pasokan yang menyebabkan peningkatan biaya produksi bagi banyak perusahaan lokal.
"Di Jabar sendiri, ekonominya bisa dibilang sedang baik dan tumbuh, tapi karena sektor ini terganggu, banyak industri yang melakukan pemutusan hubungan kerja," ucap pengamat eonomi dari Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Acuviarta Kartabi dalam diskusi ekonomi yang di gelar Ikatan Wartawan Ekonomi Bisnis (IWEB) di Menara Kadin Jabar Jln. Sukabumi Kota Bandung, Kamis (27/6/2024).
"Yang pasti ini juga berpengaruh sampai ke rumah tangga karena mereka terkena PHK," katanya lagi.
"Belum lagi adanya kebijakan dua kementerian yang mengatur ekspor dan impor yakni Kemendag dan Kemenperin. Ini sebenarnya kerap tidak sejalan, ditambah masih dianggap.sulit bagi UMKM yang ingin melalukan ekspor atau impor," papar Acuviarta.
"Semisal barang konsumsi tekstil, impor barang tekstil begitu mudah, disisi lain produksi tekstil dalam negeri terancam karena kurangnya dukungan terutama regulasi yang melindungi produk lokal," tuturnya
"Jadi regulasi yang kompleks dan birokrasi yang rumit juga seringkali memperlambat proses bisnis dan investasi, menyulitkan perusahaan atau industri untuk berkembang," imbuh Acuviarta.
Untuk mengatasi masalah ini, lanjutnya, diperlukan langkah yang strategis serta menyeluruh, termasuk peningkatan investasi dalam teknologi, pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, serta penyederhanaan regulasi untuk mendukung pertumbuhan industri dalam negeri yang lebih berkelanjutan dan kompetitif.
Diketahui, data Badan Pusat Statisik (BPS) mengenai Pertumbuhan Ekonomi (PE) Indonesia pada 2023 mencapai 5,05 persen. Angka ini lebih baik dibandingkan tahun 2020, 2021 dan 2022 di mana masing-masing mencapai 2,07 persen, 3,69 persen dan 5,31 persen.
Namun, perbaikan ekonomi ini dianggap tidak sejalan dengan pertumbuhan industri dalam negeri seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), di Jabar misalnya, makin banyak industri gulung tikar di sektor TPT.
Acuviarta menyebut, data BPS di Jawa Barat memperlihatkan semakin banyak impor masuk ke provinsi ini.
Tingginya produk impor bisa jadi lebih tinggi karena banyak barang yang turunnya tidak di Jawa Barat, misalkan di Jakarta atau Surabaya, kemudian dibawa melalui jalur darat ke provinsi ini.
Hal senada dikemukakan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana, yang mengakui bahwa saat ini kinerja industri dalam negeri tengah turun.
"TPT saat ini menjadi sektor yang sangat tertekan dengan adanya kemudahan izin impor dari Kementerian Perdagangan," sebut Danang.
"Dalam rilis BPS disebutkan, saat ini semakin banyak impor masuk ke dalam negeri khususnya barang siap pakai. Sementara impor bahan baku yang selama ini digunakan oleh industri angkanya perlahan menurun," ungkapnya.
Danang menuturkan, pada 2021 dari total struktur impor di Jabar saja sudah mencapai 11,99 miliar dolar AS di mana impor konsumsi mencapai 6,56 persen, barang modal 10,94 persen, dan bahan baku 82,50 persen.
Kondisi ini kemudian berubah signifikan pada 2023, di mana impor mencapai 12,30 miliar dolar AS dengan sektor konsumsi mencapai 9,51 persen, barang modal 12,32 persen, dan bahan baku hanya 78,17 persen.
"Dari sini saja bisa kita tahu kalau barang yang dikonsumsi warga itu naik angknya. Sedangkan bahan baku terus turun padahal bahan baku ini kan biasanya dipakai industri dalam negeri untuk menghasilkan barang tertentu," kata Danang.
Sementara itu, Ketua Umum Tim Neraca BPS Jabar Yuni Anggoro memaparkan, pertumbuhan ekonomi di Jabar memang masih baik. Pada kuartal I 2024 PE Jabar mencapai 4,93 persen, hanya sedikit di bawah angka nasilnal 5,11 persen.
"Industri masih menjadi sektor yang memberikan pendapatan tinggi di Jabar mencapai 41,87 persen, kemudian perdagangan 14,43 persen, dan pertanian 8,44 persen," kata Yuni.
Khusus Sub industri pengolahan, lanjut Yuni, industri mesin dan perlengkapan angkanya masig tinggi mencapai 82,59 persen.
Kemudian ada industri TPT 58,81 persen, barangg logam, elektronik, dan listrik 52,19 persen, serta alat angkutan 46,68 persen.
Yuni menuturkan, angka ekspor di Jabar memang masih lebih tinggi dibandingkan angka impor.
Pada 2023 ekspor dari provinsi ini mencapai lebh dari 2,5 miliar dolar AS, di mana impornya sekitar 1,1 miliar dolar AS.
Meski demikian, dia meminta pemerintah tetap waspada karena ada peningkatan impor barang.
Tata kelola importir pun harus diperbaiki agar memiliki tujuan untuk menjaga stabilitas industri domestik dan mendukung peningkatan kualitas produk.