Dengan eskalasi kasus yang semakin meningkat, berdasarkan rilis yang diterima Sonora, KMPKP menilai bahwa Putusan DKPP ini menjadi langkah tegas sekaligus sinyal yang kuat untuk terus mengukuhkan dan menjaga konsistensi perlindungan perempuan dalam pemilu.
Putusan ini harus menjadi preseden kedepan untuk ditegakkan secara konsisten bahwa tidak ada impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual, khususnya pada ranah pemilu.
Paradigma ini penting agar tidak mengendorkan semangat perempuan untuk menjadi subyek penting dalam aktivitas pemilu di Indonesia baik sebagai pemilih, penyelenggara, maupun peserta.
Berdasarkan studi yang telah dirilis Kalyanamitra pada 24 Juni 2024, ditemukan bahwa faktor dan akar kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024 adalah adanya ideologi patriarki dan norma gender, stereotip gender, ketimpangan relasi kekuasaan, kurangnya kesadaran dan pendidikan, kurangnya regulasi dan perlindungan, serta impunitas.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu memang berpotensi menjadi ruang yang rawan bagi perempuan. Dalam suatu sistem pemilu, adanya hierarki antar penyelenggara, serta posisi timpang antara penyelenggara dengan para pihak yang terlibat dalam pemilu dapat membentuk suatu posisi relasi kuasa. Posisi tersebut membuat penyelenggaraan pemilu menjadi satu potensi tempat terjadinya kekerasan berbasis gender.
Kasus ini menjadi pembelajaran ke depan bahwa pelaku kekerasan berbasis gender dalam lingkup pemilu harus diberi sanksi terberat.
Dalam konteks pelanggaran etika oleh penyelenggara pemilu, sanksi pemberhentian tetap tidak hanya menempatkan pelaku kekerasan terhadap perempuan pada posisi inkapasitas, namun turut menjadi sarana agar tercipta standar tindakan perlawanan yang dilakukan untuk mencegah keberulangan bagi pihak lain kedepannya.
Fakta-fakta dalam kasus ini sudah harus menjadi evaluasi ke depan agar terdapat kerangka penanganan kekerasan berbasis gender penyelenggara pemilu, baik dari segi pencegahan, penanganan, maupun pengawasan.
Kemudian, tindakan hukum secara terpadu baik dari segi sanksi etik, administrasi, hingga sanksi pidana harus ditegakkan.
Dalam perspektif penyelenggara pemilu, sanksi etik berupa pemberhentian memang adalah upaya terberat untuk menghukum pelaku, namun dalam kacamata negara, terdapat sanksi pidana yang juga harus ditegakkan sebagai simbol bahwa kekerasan seksual adalah suatu kejahatan yang patut dihukum berat.