Sonoea.ID - Pernah nggak sih, ngerasa aneh dan lucu ketika pertama kali mendengar dialek orang Banyumasan? Seperti yang kita ketahui mereka dikenal sebagai Wong Ngapak.
Nah, perlu kita bahas bahwa bahasa ngapak adalah bahasa Jawa tahap awal yang disebut Jawadwipa. Konon, bahasa ngapak tergolong bahasa Jawa murni yang hanya menggunakan bahasa ngoko lugu.
Ngapak adalah salah satu bentuk dialek atau logat bahasa Jawa yang masih digunakan di wilayah Jawa Tengah yakni oleh masyarakat Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Purwokerto, Cilacap, Tegal, Pemalang, dan Kebumen.
Bahasa ngapak ini dominan menggunakan huruf vokal /a/. Hal ini, berbeda dengan bahasa Jawa baku yang digunakan oleh masyarakat Yogyakarta, Semarang, Solo, dan sekitarnya yang dominan dengan penggunaan huruf vokal /o/.
Lalu, pada perkembangan zaman apakah eksistensi bahasa ngapak akan tetap terjaga jika banyak orang yang merasa aneh saat mendengar dialek ngapak?
Saat ini, eksistensi bahasa ngapak terbilang mulai terancam, seperti halnya bagi mahasiswa dari daerah ngapak yang berada di perantauan.
Baca Juga: 10 Bahasa Gaul Gen Alpha, Tak Mau Ketinggalan dari Milenial dan Gen Z!
Fenomena intensitas penggunaan bahasa ngapak pada kalangan mahasiswa yang merantau di daerah Yogyakarta, Semarang, Solo, dan sekitarnya banyak mendapatkan terpaan dengan munculnya statment bahwa bahasa ngapak terdengar kasar.
Walaupun kasar dalam hal ini bukan berkonotasi negatif, tetapi cenderung blak-blakan, terbuka, dan penuh egaliter.
Selain itu, adanya stigma katro, ndeso, atau tidak modern oleh sebagian kalangan mahasiswa yang menganggap bahwa bahasa ngapak terdengar lucu dan aneh. Mereka seringkali menirukan tuturan ngapak sebagai bahan bercandaan.
Padahal, ahli bahasa menyatakan bahwa bahasa ngapak sebagai turunan asli dari bahasa Jawa Kuno. Seperti yang ditulis oleh H. Budiono dalam bukunya berjudul Banyumas Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. Dalam buku ini tercatat bahwa bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Yogyakarta, Semarang, Solo, dan sekitarnya telah melewati lima tahap perkembangan yang muncul sejak zaman Pujangga Baru pada abad ke-18.