“Bayangkan, Andi, mereka bersatu di tengah perbedaan. Mereka berani bersumpah demi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa,” kata Pak Darma suatu hari. Kata-kata itu terus terngiang di kepala Andi.
Andi selalu bertanya-tanya, apakah pemuda saat ini masih bisa menjaga semangat itu? Di tengah kemajuan zaman, apakah kita masih satu?
Saat upacara peringatan dimulai, Andi melihat teman-temannya dari berbagai suku, agama, dan latar belakang berdiri bersisian. Bendera merah putih berkibar, diiringi lagu kebangsaan.
“Indonesia adalah rumah kita. Tidak peduli dari mana asal kita, kita tetap satu,” ucap Andi dalam hati, sembari mengepalkan tangan. Di saat itu, ia merasa yakin, semangat Sumpah Pemuda tak pernah padam. Mereka semua, generasi muda, masih memegang janji yang sama.
Baca Juga: 10 Puisi Hari Sumpah Pemuda 2023, Singkat dan Menyentuh Hati
Cerpen 2: Di Bawah Langit yang Sama
Di sebuah sekolah kecil di kota Yogyakarta, lima siswa tengah bersiap untuk lomba pidato memperingati Sumpah Pemuda. Mereka adalah Bagas dari Jawa, Siti dari Madura, Tigor dari Batak, Made dari Bali, dan Ardi dari Minang. Meski berbeda asal-usul, mereka duduk bersama di ruang kelas, berdiskusi tentang makna Sumpah Pemuda.
"Sumpah Pemuda itu menyatukan kita dalam satu bahasa, kan?" kata Tigor dengan logat Bataknya yang khas. "Tapi, kenapa ya, di beberapa daerah orang-orang masih lebih suka pakai bahasa daerah mereka sendiri?"
Bagas tersenyum, "Bahasa daerah itu warisan budaya, Gor. Aku juga masih sering ngomong Jawa di rumah. Tapi Sumpah Pemuda bukan soal meninggalkan jati diri, tapi soal menghormati perbedaan."
Siti menimpali, "Bener, kita bisa bicara dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah kita juga. Yang penting, kita ngerti kalau kita ini bagian dari bangsa yang lebih besar."