Made, yang biasanya pendiam, tiba-tiba angkat bicara, "Aku pikir Sumpah Pemuda itu bukan cuma soal bahasa. Kita ini beda-beda, tapi kita masih bisa kerja sama. Aku sama Ardi dari latar belakang yang beda, tapi kita bisa saling dukung."
Ardi mengangguk, "Iya, setuju. Waktu lomba olahraga kemarin, meski aku dari Sumatera Barat dan Made dari Bali, kita tetap tim yang kompak. Itu yang penting, rasa persatuan."
Mereka semua terdiam sejenak, merenungi apa yang mereka bicarakan. Bagas kemudian berkata, "Kalian sadar nggak, kita ini cerminan Indonesia? Beragam, tapi satu."
Di bawah langit yang sama, lima anak muda ini menyadari bahwa meski mereka datang dari latar belakang berbeda, Indonesia adalah tempat mereka berpijak bersama. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan siap menyampaikan pidato tentang Sumpah Pemuda yang tak hanya sekadar kata-kata, tapi makna yang mereka rasakan dalam kebersamaan mereka.
Cerpen Sumpah Pemuda 3: Lukisan di Dinding
Alya duduk termenung di sudut ruangan, menatap dinding yang dipenuhi lukisan berbagai budaya Indonesia. Di sekolahnya, mereka sedang mempersiapkan pameran Sumpah Pemuda, dan sebagai salah satu siswa yang terlibat, Alya diminta untuk membuat karya seni bertema keberagaman.
Namun, ada yang mengganjal di pikirannya. Ia selalu merasa bingung tentang bagaimana bisa menyatukan berbagai suku dan budaya yang sangat berbeda menjadi satu. Alya sendiri berasal dari keluarga campuran; ayahnya dari Jawa, dan ibunya dari Sulawesi. Meski begitu, ia sering merasa tidak sepenuhnya 'nyambung' dengan budaya mana pun. Ada kekhawatiran di hatinya—apakah dirinya benar-benar bagian dari Indonesia yang disebut-sebut beragam namun satu?
Suatu hari, Alya memutuskan untuk berkeliling melihat lukisan-lukisan yang sudah dipajang. Ada lukisan tari Saman dari Aceh, batik dari Jawa, tarian perang dari Papua, dan banyak lagi. Semuanya indah, tapi terasa terpisah-pisah.
Ketika Alya sedang merenung, Pak Hasan, guru seni yang membimbing pameran itu, mendekatinya. "Kamu lagi apa, Alya? Kok kelihatannya bingung?"
Alya tersenyum tipis, "Saya lagi mikir, Pak. Kenapa semuanya terasa terpisah? Saya sulit lihat gimana caranya kita bisa benar-benar satu, padahal kita sangat berbeda."
Pak Hasan duduk di sebelahnya, menatap lukisan-lukisan yang terpajang. "Kamu tahu, Alya, Indonesia itu seperti lukisan mozaik. Setiap kepingan itu berbeda, punya warnanya sendiri. Tapi justru perbedaan itulah yang bikin gambarnya utuh. Kalau semuanya sama, nggak akan ada keindahan yang kita lihat sekarang."
Alya terdiam sejenak, mencerna kata-kata gurunya. "Jadi, meskipun kita berbeda-beda, kita tetap bagian dari satu gambar besar?"
Pak Hasan tersenyum hangat, "Tepat sekali. Justru dalam perbedaan itulah, kita menemukan kekuatan dan keindahan. Sama seperti Sumpah Pemuda yang menyatukan semua elemen berbeda itu. Mereka sadar, meski berbeda, kita punya satu tujuan—bersama-sama membangun bangsa."
Mendengar itu, Alya merasa lebih tenang. Ia pun memandang lukisan-lukisan itu dengan sudut pandang baru. Mungkin benar, semua berbeda, tapi justru dalam perbedaan itu, Indonesia menemukan jati dirinya—seperti dirinya, yang juga terdiri dari dua budaya, namun tetap bagian dari satu bangsa.
Baca Juga: 70+ Kata-kata Ucapan Selamat Hari Sumpah Pemuda 2023, Penuh Semangat Perjuangan!
Demikian tadi sejumlah cerpen Sumpah Pemuda singkat terbaru. Semoga bermanfaat!