Oleh: Dr. Firman Kurniawan S, Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital dan Pendiri LITEROS.org
Sonora.ID - Hari ini, tema persaingan di berbagai belahan dunia makin diwarnai oleh unjuk kefasihan pemanfaatan artificial intelligence (AI). Membicarakan dikotomi manusia vs AI, tak relevan lagi. Keadaan yang benar: “manusia vs manusia yang memanfaatkan AI”.
Di tengah riuhnya persaingan itu, perempuan jadi kelompok yang terancam. Ini lantaran, struktur dan agen yang terkait AI, tak memihak perempuan. Dominasi laki-laki terlanggengkan. Yang jika keadaannya berlanjut, krisis bakal tercipta. Dunia berjalan timpang. Akibat peran dan tafsir yang tak imbang. Juga yang dilakukan oleh mesin.
Siddhi Pal dan Ruggero Marino Lazzaroni, 2024, dalam “AI's Missing Link: The Gender Gap in the Talent Pool” mengutip laporan World Economic Forum (WEF) di tahun yang sama, menguraikan implikasi ketakseimbangan gender ini. Ketakseimbangan yang tertangkap lewat pernyataan, hampir 1,6 juta profesional AI di seluruh dunia.
Dilihat dari datanya: hanya 22% dari talenta AI di dunia, yang berjenis kelamin perempuan. Representasi perempuan kian rendah, seiring meningkatnya posisi puncak di perusahaan. Totalnya tak lebih dari 14%, dari seluruh eksekutif senior di bidang AI. Manakala negara-negara Uni Eropa (UE) telah berhasil menutup 75% kesenjangan gendernya, ~dengan prestasi Swedia dan Jerman sebagai dua di antara lima negara UE teratas yang berhasil menutup kesenjangan gender~ tak demikian keadaannya, saat membicarakan kesenjangan gender di bidang AI.
Baca Juga: Sinopsis Film CTRL di Netflix, saat Aplikasi AI Mengancam Kehidupan Seorang Influencer
Jerman dan Swedia jadi negara dengan representasi perempuan terendah dalam tenaga kerja AI. Ini ketika dibandingkan dengan negara-negara UE lainnya. Angkanya masing-masing sebesar 20,3% dan 22,4%, dibanding laki-laki. Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan serius: hambatan unik apa yang sesungguhnya dihadapi perempuan di bidang AI? Realitas senjang ini, jadi keadaan yang mengkhawatirkan di UE.
Data lain memperkuat realitas kesenjangan gender di atas. Di negara seperti Portugal dan Estonia, pada sektor Ai terjadi ketakseimbangan hingga mencapai 51%. Bahkan Frankfurt yang dikenal sebagai pusat teknologi utama Eropa, indikasinya sangat buruk. Hanya 19% talenta AI, yang berjenis kelamin perempuan. Indikasi buruk itu, diperbaiki oleh Italia. Milan menduduki posisi sebagai pemimpin di antara pusat-pusat AI Eropa. Keberhasilannya mencapai 30,7% profesional AI, berjenis kelamin perempuan. Kesenjangan gender berujung pada kian memburuknya bias dalam sistem AI. Juga keterbatasan inovasi bersumber gagasan perempuan.
Bias dalam sistem AI berawal di fase input data, untuk keperluan pengembangan machine learning (ML). Ketakseimbangan gender memberi kesempatan pada laki-laki, sebagai penginput utama data. Jumlah laki-laki yang lebih banyak, menjadikan situasi ini tak terelakkan. Data yang diinput, tak sengaja jadi berperspektif laki-laki. Terbawa perspektif penginputnya. Data bias ini, jadi pengisi utama mesin.
Saat ML dilatih tentang profesi misalnya: presiden, panglima tentara, CEO perusahaan, pengacara, teknisi sipil, petugas pemadam kebakaran, pilot, sopir, maupun pekerja tambang, direpresentasikan oleh laki-laki. Sedangkan perempuan, dilekatkan pada pekerjaan yang terkait urusan domestik: pengasuhan anak, pembersih rumah, pemasak, pengajar sekolah, perancang busana, perangkai bunga, pendekorasi pesta, psikolog, kurator seni, food tester. Kalaupun ada pekerjaan yang bersifat publik, terbatas sebagai ahli planologi kota, arsitek taman atau petugas kebun binatang. Padahal dalam realitasnya, seluruh pekerjaan di atas dapat dijalankan laki-laki maupun perempuan.