Sonora.ID – Hegemoni adalah konsep yang berkembang dari teori media Marxis yang digagas oleh Antonio Gramsci, menyebutkan bahwa dominasi tidak hanya terjadi pada ranah politik atau ekonomi tetapi juga dalam pembentukan identitas budaya masyarakat.
Dalam pandangan ini, kekuasaan kelompok dominan diterima secara sosial sebagai sesuatu yang "wajar" dan dihayati oleh masyarakat.
Namun, seperti dijelaskan oleh Gramsci, dominasi semacam ini tidaklah mutlak—ada ruang untuk resistensi.
Film “Man Suang” mengangkat tema hegemoni ini dengan latar belakang sejarah Siam (Thailand) di masa pemerintahan Raja Rama III.
Baca Juga: Sinopsis 'Spellbound', Kisah Ellian Menyelamatkan Keluarga Lumbria
Judulnya merujuk pada klub hiburan yang menjadi tempat diskusi dan negosiasi para tokoh penting.
Namun, di balik gemerlapnya, tersimpan konflik antara komunitas Tionghoa Tua Hia dan pejabat Siam.
Komunitas ini, yang memiliki posisi dominan dalam film, terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan kekuasaan Siam dan bahkan merencanakan perdagangan senjata dengan Eropa—sebuah pengkhianatan besar pada saat itu.
Film ini menyoroti stereotip gender dan rasial yang kuat pada masanya.
Perempuan digambarkan terbatas pada peran sebagai pelacur atau pembantu, sementara masyarakat Siam ditempatkan sebagai "rakyat rendahan" yang tunduk pada dominasi kelompok Tua Hia.
Klub hiburan Man Suang menjadi simbol pengukuhan norma-norma ini. Namun, di sisi lain, muncul tokoh-tokoh yang berusaha melawan, seperti Khem, Wan, dan Chatra.
Baca Juga: Sinopsis Film 'Takluk: Lahad Datu' Film Perjuangan Heroik Malaysia
Resistensi terhadap Norma yang Menekan
Tokoh utama dalam “Man Suang” memerankan figur resistensi terhadap dominasi budaya dan sosial yang ada.
Khem dan Wan, misalnya, adalah masyarakat kelas bawah yang membuktikan bahwa mereka juga memiliki hak untuk melawan ketidakadilan.
Mereka menentang norma-norma yang membatasi peran berdasarkan status sosial, serta mengungkap rahasia di balik konflik antara komunitas Tua Hia dan pejabat Siam, termasuk skandal perdagangan senjata dengan Eropa.
Hal ini mencerminkan teori Gramsci, yang menyebutkan bahwa resistensi muncul ketika kelompok subordinat merasa tidak memiliki keselarasan tujuan dengan kelas dominan.
Ketika norma yang mendominasi tidak lagi relevan dengan kepentingan masyarakat luas, hegemoni mulai melemah.
Representasi Multikulturalisme dalam “Man Suang”
Selain menggambarkan perlawanan terhadap hegemoni, “Man Suang” juga menunjukkan keberagaman budaya yang menjadi ciri khas Siam pada masa itu.
Film ini memuat elemen-elemen tradisional seperti tarian Kerajaan Ayutthaya, alat musik khas Siam, serta ritual kepercayaan Tionghoa.
Bahkan, dialog dalam film mencampurkan bahasa Thailand dan Tionghoa, menegaskan adanya interaksi budaya yang erat.
Multikulturalisme ini menggambarkan dinamika budaya Siam yang meski dilanda konflik, tetap diwarnai keberagaman.
Hal ini menegaskan bahwa identitas budaya bersifat dinamis, selalu dapat dimodifikasi dan diperbarui.
Baca Juga: Sinopsis Film 'Takluk: Lahad Datu' Film Perjuangan Heroik Malaysia
Melalui analisis teori hegemoni, “Man Suang” menjadi cermin bagaimana norma dan nilai budaya dapat diperkuat, tetapi sekaligus ditentang.
Representasi tokoh Khem, Wan, dan Chatra menunjukkan bahwa status sosial bukanlah penghalang untuk melakukan perubahan.
Sebaliknya, resistensi mereka menegaskan bahwa budaya selalu memiliki potensi untuk berkembang seiring dengan dinamika masyarakat.
Dengan memadukan kritik terhadap hegemoni dengan representasi budaya multikultural, “Man Suang” tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga refleksi mendalam tentang dominasi, perlawanan, dan pentingnya keberagaman.
Sebagai sebuah karya seni, “Man Suang” berhasil menghadirkan cerita yang kompleks dengan visual yang memukau dan elemen budaya yang kaya.
Namun, stereotip gender dan rasial yang digambarkan dalam film sebaiknya diimbangi dengan eksplorasi lebih mendalam terhadap peran perempuan atau masyarakat subordinat untuk memberikan perspektif yang lebih inklusif.
Film ini akan cocok bagi penonton yang ingin memahami dinamika budaya dan sejarah Thailand secara sinematik, serta bagi mereka yang tertarik mengeksplorasi konsep hegemoni dan resistensi dalam masyarakat.
Selain sebagai hiburan, “Man Suang” adalah cerminan reflektif yang mengundang diskusi kritis tentang isu sosial dan budaya.
Baca Juga: Sinopsis 'Kraven the Hunter' Asal-usul Pemburu Ambisius Spider-Man
Penulis : Akhmad Ibra Syahrial Maula