Diskusi Hukum & Ekonomi 2025, Pemimpin Baru Di Jabar Harus Bawa Perubahan Signifikan

20 Desember 2024 11:30 WIB
Diskusi "Outlook Ekonomi, Hukum, dan Politik Indonesia dan Jawa Barat 2025" di Bandung, Kamis (19/12/2024) / Gun
Diskusi "Outlook Ekonomi, Hukum, dan Politik Indonesia dan Jawa Barat 2025" di Bandung, Kamis (19/12/2024) / Gun ( )
 
 
Bandung, Sonora.ID - Kepemimpinan baru di Jawa Barat dengan ada atau tidaknya perubahan, utamanya dalam pertumbuhan ekonomi, akan dimulai setelah dilakukan pelantikan kepala daerah terpilih secara serentak pada Februari 2025 mendatang.
 
Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden (PP) Nomor 80 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
 
Pada Pasal 22A dalam PP tersebut dijelaskan bahwa pelantikan gubernur dan wakil gubernur hasil pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak tahun 2024 dilaksanakan secara serentak pada tanggal 7 Februari 2025.
 
Dalam diskusi "Outlook Ekonomi, Hukum, dan Politik Indonesia dan Jawa Barat 2025" di Aula Bappeda Jabar Jl. Ir. H. Djuanda Kota Bandung, Kamis (19/12/2024), diungkapkan bahwa kepemimpinan baru di Jawa Barat diharapkan dapat membangun fondasi yang kuat. Berbagai keputusan atau pendekatan yang diambil harus sebisa mungkin menghindari proyek besar yang hanya bertujuan meningkatkan popularitas jangka pendek.
 
"Fokus harus diarahkan pada kebijakan yang bersifat mendasar dan jangka panjang, meskipun hasilnya tidak langsung terlihat," ucap Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran (Unpad) sekaligus Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Profesor Arief Anshory Yusuf, dalam paparannya.
 
“Pemerintah yang sukses bukanlah yang mencari glorifikasi saat masa jabatannya, tetapi yang membangun dasar kokoh bagi masa depan. Jadi harus berani untuk tidak populer, tetapi tetap berorientasi pada hasil yang substansial,” tegas Prof. Arief.
 
 
Menurutnya, Jabar sangat dikenal sebagai hub-manufaktur di Indonesia. Di mana pemerintah, baik pusat maupun provinsi, masih sangat mengandalkan sektor manufaktur. 
 
"Ketergantungan dengan sektor manufaktur ini terlihat dari kebijakan hilirisasi yang menjadi langkah untuk menghidupkan kembali industrialisasi yang mengalami stagnasi," kata Prof. Arief.
 
Langkah ini, lanjutnya, dimotivasi fakta Indonesia, termasuk Jabar mengalami stagnasi industrialisasi. Namun, kontribusi sektor manufaktur Jabar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sudah tidak signifikan seperti dulu. 
 
"Manufaktur Jabar menghadapi tantangan berat, termasuk persaingan ketat dengan negara-negara seperti Vietnam dan Tiongkok. Bahkan upah minimum pekerja di Vietnam misalnya, itu hanya setengah dari Indonesia. Dan ini menjadikannya lebih kompetitif," papar Prof. Arief.
 
"Ini berakibat, manufaktur tidak lagi menjadi pendorong utama pertumbuhan di Jabar. Perubahan tersebut pun terkonfirmasi dari pertumbuhan ekonomi Jabar yang kini tak lagi di atas nasional," jelasnya.
 
Ia juga mengungkapkan, stagnasi di sektor manufaktur mendorong terjadinya tersierisasi atau pergeseran ke sektor jasa yang lebih banyak. Akan tetapi, tersierisasi yang terjadi di Jabar cenderung ke arah jasa berkualitas rendah," katanya lagi.
 
"Selama ini kita seolah berasumsi re-industrialisasi akan berhasil atau hilirisasi akan sukses. Padahal ada rencana lain yang bisa dilakukan yakni memfasilitasi tersierlisasi. Misalnya mengembangkan sektor pariwisata dengan serius, atau pengembangan start-up agar kualitas pekerja meningkat," ungkapnya.
 
“Peningkatan kualitas tenaga kerja menjadi tantangan besar bagi Jabar. Pendidikan rata-rata penduduk Jabar masih rendah, dengan angka lama sekolah yang berada di peringkat bawah secara nasional. Oleh karena itu, pendidikan menjadi kunci untuk menciptakan tenaga kerja yang lebih produktif, terutama untuk mendukung sektor startup dan pariwisata yang potensial,” imbuhnya.
 
Lalu dalam lanskap politik Indonesia, Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia, Profesor Karim Suryadi mengatakan, dinamika kekuasaan memperlihatkan pola yang relatif stabil dan harmonis. 
 
Koalisi Indonesia Maju, sebagai koalisi politik dominan, terus menguasai berbagai lini pemerintahan dengan dukungan mayoritas partai politik di parlemen. Hal ini menciptakan suasana "bulan madu" politik yang diperkirakan akan terus berlanjut dalam waktu dekat.
 
 
Menurutnya, keberhasilan KIM dalam membangun soliditas diantara partai-partai anggotanya, menjadi fondasi utama stabilitas tersebut. 
 
"Dengan menguasai mayoritas kursi di DPR, koalisi ini memiliki kemampuan yang kuat untuk mengendalikan arah legislasi dan kebijakan nasional. Kesepakatan bersama dalam koalisi ini juga meminimalkan potensi friksi," ungkap Prof. Karim.
 
Namun, stabilitas ini bukan tanpa tantangan. Risiko terbesar dalam periode bulan madu politik adalah terjadinya stagnasi akibat kurangnya dinamika oposisi yang sehat. 
 
"Demokrasi membutuhkan checks and balances untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara transparan dan akuntabel," ucapnya.
 
Disisi lain, lanjutnya, salah satu efek dari dominasi politik ini adalah semakin minimnya partisipasi masyarakat dalam proses politik.
 
Sementara itu, paparan pada bidang hukum, Akademisi dari Universitas Padjadjaran Dr. Mei Sunanto menilai, reformasi hukum di Indonesia sering dibicarakan, tetapi sampai saat ini belum ada perubahan besar yang terasa. 
 
Langkah yang diambil cenderung setengah hati dan tidak menyentuh tiga elemen utama sistem hukum, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
 
"Banyak undang-undang yang dibuat belum benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat. Tidak sedikit langkah yang diambil tidak ada landasan hukumnya atau dengan kata lain hanya berbasis diskresi," ungkap Dr. Mei.
 
Selain itu, lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan masih menghadapi masalah besar, misalnya saat ini muncul tren penegakan hukum cenderung lebih cepat dilakukan jika kasusnya menjadi viral terlebih dahulu. 
 
"Kesadaran hukum masyarakat masih rendah. Banyak orang tidak memahami hak dan kewajiban mereka. Di sisi lain, aparat hukum sering kali masih bekerja dengan mentalitas transaksional, bukan pelayanan yang adil," papar Dr. Mei.
 
Ia juga menilai reformasi hukum di Indonesia masih jauh dari harapan jika hanya berfokus pada perubahan kecil tanpa menyentuh akar masalah, maka keadilan akan terus sulit tercapai. 
 
"Dibutuhkan komitmen yang lebih kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat untuk menciptakan perubahan nyata di bidang hukum," pungkasnya.
 

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm