Sonora.ID – Hasil investigasi atas jatuhnya pesawat Lion Air JT610 telah diungkap oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Jumat (25/10/2019).
Dalam laporan tersebut, KNKT menyimpulkan ada sembilan faktor yang berkontribusi terhadap tragedi yang menewaskan 189 penumpang dan awak kabin pesawat Lion Air PK-LQP.
KNKT memaparkan hasil investigasi itu dalam jumpa pers di Kantor KNKT, Jl Medan Merdeka timur, Jakarta Pusat. Jumpa pers tersebut dihadiri oleh Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, dan Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo.
Baca Juga: Sah! Jokowi Umumkan 12 Wakil Menteri untuk Kabinet Indonesia Maju
Berikut adalah sembilan faktor yang berkontribusi kepada kecelakaan Lion Air JT610, menurut keterangan tertulis yang diterbitkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT):
1. Selama desain dan sertifikasi Boeing 737-8 (MAX), dibuat asumsi-asumsi terkait respons pilot terhadap kerusakan. Meski konsisten dengan pedoman industri saat ini, ternyata asumsi ini tidak benar.
2. Berdasarkan pada asumsi ini, perangkat lunak yang mengontrol hidung pesawat (MCAS) bergantung pada sensor tunggal dan dinyatakan tepat dan memenuhi semua persyaratan sertifikasi.
3. MCAS pada pesawat dirancang untuk bergantung sepenuhnya pada sensor AOA, hal ini membuatnya rentan terhadap input yang salah dari sensor itu. AOA atau Angle of Attack adalah parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat.
ika sudut ini terlalu tinggi, pesawat bisa saja mandek atau kehilangan daya angkat. Data parameter diambil dari dua sensor, satu di antaranya terletak di sisi hidung pesawat.
Baca Juga: Korsel Susul AS Terkait Larangan Vape, Bagaimana dengan Indonesia?
4. Dalam manual penerbangan dan sewaktu pelatihan pilot, tidak ada panduan tentang MCAS atau penggunaan trim yang lebih terperinci. Ini semakin menyulitkan kru penerbangan untuk merespons MCAS yang bekerja secara otomatis.
5. Peringatan AOA DISAGREE tidak dengan benar diaktifkan selama pengembangan Boeing 737-8 (MAX). Akibatnya, peringatan ini tidak muncul selama penerbangan dengan sensor AOA yang salah dikalibrasi. Ini juga tidak dapat didokumentasikan oleh kru penerbangan dan karenanya tidak tersedia untuk membantu bagian pemeliharaan dalam mengidentifikasi sensor AOA yang salah dikalibrasi.
6. Sensor pengganti AOA yang dipasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan telah salah dikalibrasi selama perbaikan sebelumnya. Kalibrasi yang salah ini tidak terdeteksi selama perbaikan. Baca juga: Ini Bukti Malaysia Airlines MH370 Sengaja Hindari Radar
Baca Juga: Indonesia akan Jadi Tuan Rumah, Inilah Deretan Juara Piala Dunia U-20
7. Investigasi juga tidak dapat menentukan bahwa uji pemasangan sensor AOA telah dilakukan dengan benar; namun kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
8. Kurangnya dokumentasi terkait penerbangan pesawat dan catatan perawatan tentang stick shacker dan penggunaan Runaway Stabilizer NNC yang terus-menerus menunjukkan bahwa informasi ini tidak tersedia bagi kru pemeliharaan di Jakarta dan juga bagi kru kecelakaan. Ini menyulitkan para pihak terkait untuk melakukan tindakan yang sesuai.
9. Sejumlah peringatan, aktivasi MCAS yang terus berulang dan gangguan komunikasi dengan pihak Air Traffic Control tidak dapat dikelola secara efektif.
Baca Juga: Penanganan Dishub Terkait Truk Over Dimension and Over Load (ODOL)