Ali menuturkan, sekalipun aktivitas BDSM tersebut didasari oleh kesepakatan dan tidak ada paksaan, tetap saja aktivitas tersebut memiliki unsur kekerasan dan bahkan dapat melukai pasangan.
"Kesepakatan dalam konteks privat seperti itu, kesepakatan dalam mencintai menyayangi. Akibat sebaliknya, tidak boleh ada penganiayaan dong. Ini yang mau kita tuju," ujar dia.
"Perlu ada negara hadir. Ada orang sampai dibunuh itu kan gimana? Undang-undang belum mengatur sejauh itu. Apalagi KUHP yang baru belum terbit," lanjut Ali.
Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga Tuai Kritik, Wakil Ketua MPR RI: Masih Bersifat Usulan
Bunyi RUU Ketahanan Keluarga tentang BDSM
BDSM merupakan aktivitas seksual yang merujuk pada praktik perbudakan fisik, sadisme dan masokhisme yang dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak
Pada penjelasan Pasal 85 ayat 1 disebutkan bahwa:
"aktivitas seks sadisme dan masokhisme merupakan penyimpangan seksual".
Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga Turut Mengatur Kamar Orang Tua dan Anak
Kemudian, Pasal 86 RUU Ketahanan Keluarga, menyatakan:
"keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan".