Sonora.ID - Omnibus law atau sebelumnya dikenal dengan Rancangan undang-undang cipta lapangan kerja dan kemudian diubah menjadi cipta kerja ini menuai banyak perdebatan.
RUU Cipta Kerja dinilai terlalu berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat.
Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 79 undang-undang dan 11 klaster dianggap bermasalah.
Baca Juga: Pihak Ombudsman Sarankan Pemerintah Lakukan Perbaikan Draf Omnibus Law
Akademisi Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia Samuel Gultom mengatakan, di dalam Omnibus Law banyak undang-undang dan aturan yang sangat melemahkan undang-undang yang sudah ada, sehingga menyulitkan membuka lapangan pekerjaan.
Hal tersebut disampaikan Samuel saat wawancara dengan Radio SmartFM, Senin (20/4).
Baca Juga: Arsul Sani Sebut Pasal 170 dalam Draft Omnibus Law Bukan Salah Ketik
“Terkait dengan tenaga kerjaan saya setuju perluasan lapangan kerja mutlak diperlukan namun jangan dilupakan bahwa lapangan pekerjaan yang dibutuhkan adalah lapangan pekerjaan yang dapat memberikan kehidupan yang layak, justru persoalannya didalam omnibus law banyak undang-undang atau aturan yang sangat melemahkan undang-undang yang sudah ada dengan acuan undang-undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Tapi di omnibus law justru semakin melemahkan menjadi semakin tidak memberikan lapangan kerja” ujarnya.
Menurutnya, yang menjadi penghambat utama investasi di Indonesia adalah biaya birokrasi dan biaya siluman, yang mencapai 30% dari biaya produksi.
Sehingga terlihat sampai saat ini investasi masih enggan masuk ke Indonesia.
Samuel mencontohkan salah satu kasus yang paling jelas seperti tahun lalu, banyak modal dari China yang realokasi bukan ke Indonesia tapi ke Vietnam.
Baca Juga: Pembahasan RUU Omnibus Law Akan Dilanjutkan, Komisi IV DPRD Kalsel: DPR RI Memaksakan Diri!