Sonora.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat anggaran Covid-19 yg diambil dari APBN tahun 2020 sebesar Rp. 405,1 T.
Dari total jumlah tersebut terdiri dari empat program, pertama adalah kesehatan sebesar Rp. 75 T, dukungan industri Rp. 70 T, Sosial safety net Rp. 110 T dan pembiayaan pemulihan ekonomi nasional Rp. 150 T.
Sementara APBD seluruh Indonesia untuk penanganan covid-19 sebesar Rp. 56,57 T.
Baca Juga: PBB: Virus Corona Akan Mendorong 130 Juta Orang ke Ambang Kelaparan
Sebaran anggaran yaitu Rp. 24 T untuk penanganan kesehatan, sosial safety net Rp. 25,3 T, penanganan dampak ekonomi Rp. 7,1 T.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan angka-angka tersebut didapatkan berdasarkan update terakhir tgl 20 April 2020.
Dengan besaran tersebut KPK memetakan dimana saja titik rawan terjadinya korupsi.
Baca Juga: Komisi IV DPRD Kalsel Siap Evaluasi LKPJ Gubernur Tahun 2019
Firli menyebut ada empat titik rawan korupsi, diantaranya realokasi anggaran dan penyaluran bantuan sosial.
Berikut keterangannya saat rapat bersama komisi lll DPR RI di ruang rapat komisi lll DPR RI hari ini.
"Sebaran anggaran yg begitu besar baik bersumber dari APBN maupun APBD yg tadi kami sampaikan APBN 405,1 T, APBD 56,7 T tentu inilah menjadi perhatian kami dari KPK," tutur Firli Bahuri
Firli menambahkan empat titik yang paling rawan yang dapat dikorupsi oleh oknum tak bertanggung jawab adalah pertama rawan korupsi adalah di tempat pengadaan barang dan jasa, yg kedua adalah sumbangan pihak ketiga, yg ketiga adalah pengalokasian anggaran baik APBN maupun APBD, baik alokasi sumber dana belanja maupun anggaran. yg terkahir adalah pendistribusian program bansos dalam rangka sosial safety net.
Baca Juga: PSBB di Banjarmasin, Wali Kota: Akan Dipasangi Portal Dalam Kota
Lebih lanjut Firli mengatakan KPK melakukan kegiatan pengawasan tentang pengadaan barang dan jasa, bantuan sosial, penganggaran, juga bantuan pihak ketiga.
Sementara terkait bantuan sosial, Firli mengatakan ada kerawanan-kerawanan lebih khusus yg dibaca KPK, yang bisa saja terjadi penyimpangan, seperti bansos atau sumbangan fiktif, adanya kesalahan atau eror, juga kuantitas dan kualitas yg bisa saja berubah.
Hal ini dikhususkan karena pelaksanaan bantuan sosial menjadi hak rakyat yang harus sampai tepat guna, tepat jumlah dan tepat sasaran.
Baca Juga: Komisi II DPRD Kalsel: PSBB di Kota Banjarmasin Belum Matang