Semarang, Sonora.ID - Menurut data yang berhasil dihimpun dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, sejak bulan Januari 2020 hingga 3 Juni 2020 ini, ada sebanyak 45 kasus KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga.
Jumlah KDRT di wilayah Kota Semarang ini pun, meningkat selama pemberlakukan kebijakan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya KDRT di Kota Semarang.
Disusul faktor lainnya seperti tingkat pendidikan dan lingkungan sosial.
Kabid Data dan Informasi DP3A Kota Semarang Masruchan menguraikan, dari dampak pandemi Covid-19 secara keseluruhan, perempuan menjadi salah satu kelompok rentan yang terdampak.
Hal tersebut terlihat dari data Januari-Juni 2020, korban KDRT paling banyak dialami oleh perempuan dewasa dengan total jumlah 30 korban.
Baca Juga: Covid-19 Sebabkan Naiknya Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Untuk korban KDRT dari laki-laki dewasa cenderung belum ada di periode tersebut.
Sementara korban KDRT dari anak-anak mencapai 16 korban.
Mascruhan mengaku pandemi Covid-19 juga memberikan dampak pada tidak maksimalnya pendampingan yang dilakukan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang terhadap para korban.
Sebab, pendampingan yang biasanya dengan tatap muka sekarang terpaksa dengan komunikasi jarak jauh.
Segala perubahan, dari sisi sosial dan ekonomi yang terjadi membuat situasi menjadi semakin sulit.
Seorang pakar Sosiologi asal Bristol University mengungkapkan, KDRT bisa muncul kapanpun seiring dengan tingginya intensitas keluarga untuk berkumpul.
Baca Juga: Marak #JusticeforJohnnyDepp setelah Kabar Johnny Depp Jadi Korban KDRT
Berikut cara agar kita bisa mencegah terjadinya KDRT di masa isolasi diri selama pandemi Covid-19, yuk, simak :
Jangan Terpancing Situasi. Adaptasi merupakan cara terampuh menghadapi sitausi pandemi. Hal ini dimulai dengan keikhlasan kita semua untuk menerima keadaan.
Perbaiki Komunikasi. Tidak hanya konten dari pembahasan saja yang perlu diperhatikan, tetapi juga cara penyampaiannya. Jika ingin membicarakan masalah tertentu, pilih waktu yang tepat untuk berkomunikasi. Hindari mengobrol serius ketika salah satu anggota keluarga sedang lelah.
Bilamana waktu yang tepat sudah tiba, bicarakan persoalan dengan pelan, tidak mengintimidasi, atau berbicara dengan nada tinggi.
Belajar Saling Mengenal. Kadang kita merasa dekat secara biologis, tetapi ternyata kita tidak pernah kenal mereka secara sosial. Coba perhatikan lagi apakah kita benar-benar mengenal anggota keluarga kita. Kenyataannya, tinggal satu atap selama bertahun-tahun, tidak menjamin kita benar-benar mengenal keluarga kita. Tidak ada salahnya jika sekarang kita mencoba belajar saling mengenal.
Misalnya, menanyakan tentang perkembangan pekerjaannya, sekolahnya, atau sekadar basa-basi menanyakan apa yang sedang dikerjakannya.
Baca Juga: Tak Terima Dicurigai Atas Kematian Lina, Teddy: Sule Lakukan KDRT Terhadap Lina
Diskusikan Stres yang Dialami. Sikap terbuka sebetulnya bisa jadi penyelesaian. Jika dilakukan bersama seluruh anggota keluarga, maka secara serentak pula beban masalah yang dihadapi masing-masing kepala akan berkurang.
Saling Menghargai. Sikap menghargai anggota keluarga bisa ditunjukkan dengan mengapresiasi setiap hal yang telah dilakukannya. Sesederhana apapun berikan respon yang positif. Biasakan untuk mengucapkan terima kasih dan tolong.
Kesediaan untuk Meminta Maaf. Kesediaan meminta maaf menjadi satu hal yang penting yang tak boleh dilupakan. Seseorang seringkali gengsi untuk meminta maaf. Padahal ini menjadi langkah awal yang baik untuk menyelesaikan masalah. Namun, jangan menjadikan tindakan minta maaf sebagai alasan untuk mengulangi kesalahan. Selain meminta maaf, buat juga komitmen untuk untuk saling mengingatkan dan menerima kritik.
Baca Juga: Istilah 'Perceraian Corona' Jadi Tren di Jepang Selama Karantina Covid-19