Sonora.ID - Pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie tepat 21 tahun lalu, sejarah mencatat wilayah Timur Indonesia yakni Timor Timur yang kini berganti nama menjadi Timor Lester memisahkan diri dari Indonesia.
Keputusan tersebut terjadi pada 30 Agustus 1999 karena hampir 80 persen masyarakat Timor Leste yang meminta untuk memilih berpisah dengan Tanah Air.
Referendum yang didukung PBB mengakhiri konflik berdarah sekaligus mengakhiri kependudukan mereka sebagai warga negara Indonesia (WNI) dengan memberikan jalan Timor Leste untuk meraih kemerdekaan.
Baca Juga: Isu Ekonomi Merosot, Timor Leste: Jika Ada Kesempatan Kedua, Kami Ingin Kembali ke Ibu Pertiwi
Melansir dari AFP via kompas.com, penduduk Timor Leste memantik kejadian memilukan selama 24 tahun yang menelan nyawa 250.000 orang karena beperang, kelaparan, dan penyakit.
Kegembiraan menjadi duka setelah militer Indonesia dan milisi menyerbu dengan menghancurkan infrastruktur mereka dan memaksa ratusan ribu orang mengungsi dan membunuh 1.400 orang.
Tak seperti Indonesia yang dijajah Belanda, Timor Leste justru dijajah oleh Portugal.
Pada 1974, Revolusi Bunga terjadi di Portugal yang menyebabkan distabilitas politik di dalam negeri.
Saat itu, Portugal semakin kewalahan dengan menghadapi pemberontakan di negara-negara jajahan di Afrika.
Masyaratak TimTim akhirnya memanfaatkan momentum tersebut untuk memproklamirkan berdirinya suatu bangsa yang merdeka melalui pembentukan partai politik.
Oleh sebab itu, wilayah Timor Timur atau pulau Timor bagian timur belum menjadi bagian dari Indonesia sejak awal.
Berbeda dengan pulau Timor bagian Barat yang dahulu dikuasai oleh Belanda atau yang sekarang menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Baca Juga: 18 Tahun Merdeka, Kondisi Perekonomian Timor Leste Semakin Merosot
Proses kemerdekaan bagi Timor Leste tak semudah yang dibayangkan.
Ketegangan politik hingga fisik terjadi antara partai yang menginginkan Timor Leste merdeka dan yang menginginkan tetap di Indonesia.
Di tengah pertumpahan darah itu, masyarakat TimTim pada 30 November 1975 menggelar deklarasi Balibo yang menegaskan posisi TimTim sebagai provinsi ke-27 Indonesia.
Pada tahun berikutnya muncul berbagai konflik antara pendukung kemerdekaan Timor Leste dengan pemerintah Indonesia serta pendukung integrasi TimTim.
Hingga pada tahun 1991, terjadi apa yang disebut pembantaian Santa Cruz.
Baca Juga: Dulu Ngotot Pisah dari Indonesia, Kini Timor Leste Jadi Negara Termiskin di Dunia
Ketika itu, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke 4.000 pelayat pro-kemerdekaan di sebuah pemakaman yang sedang mengubur seorang siswa muda yang dibunuh oleh tentara.
Seorang jurnalis foto Inggris memfilmkan peristiwa yang menyebabkan lebih dari 200 orang tewas.
Rekaman itu disebar di seluruh Tv negara Barat dan Pemerintah Amerika Serikat pun mengutuk perbuatan Indonesia untuk pertama kalinya.
Baca Juga: 2 Dekade Melepas Diri, 17 Mahasiswa Timor Leste Ditolak Pemerintah Bali
Saat itu, TimTim pun membuat Indonesia jadi bulan-bulanan dunia internasional.
Banyak yang menganggap jika isu TimTim adalah salah satu sarana memukul dan mempermalukan bangsa Indonesia di percaturan internasional.
Tujuh bulan setelah BJ Habibie menjabat, Perdana Menteri Australia, John Howard mengirimkan surat kepada Presiden Habibie untuk meninjau ulang pelaksanaan referendum bagi rakyat TimTim.
Hari referendum pun tiba, 30 Agustus 1999 dilaksanakan referendum dengan situasi relatif aman dan diikuti oleh seluruh warga TimTim.
Baca Juga: Takut Terjadi Virus Covid-19 Impor, Malaysia Ogah Terima Turis Indonesia dan Dua Negara Ini
Namun, suatu hari setelah referendum dilaksanakan suasana menjadi tak menentu dan kembali kerusuhan di berbagai tempat.
Sekjen PBB akhirnya menyampaikan hasil referendum kepada Dewan Keamanan PBB pada 3 September 1999.
Hasilnya, 344.580 suara (78,5 %) menolak otonomi, 94.388 (21 %) suara mendukung otonomi, dan 7.985 suara dinyatakan tidak valid.
Baca Juga: Bandingkan Utang RI Vs Malaysia, Manakah yang Lebih Banyak?
Hasil tersebut kemudian di umumkan di Dili pada 4 September 1999, akhirnya masyarakat TimTim pun memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Habibie pun mengutarakan alasan dan fakta yang cerdas soal keputusannya untuk melepas Timor Leste.
Alasan pertama
"Timtim dengan populasi sekitar 700.000 rakyat telah menarik minat dunia. Tapi saya punya 210 juta rakyat. Jika saya biarkan tentara asing mengurus Timtim, secara implisit saya berarti mengakui bahwa TNI tak bisa menjalankan tugasnya dan ini bisa berakibat buruk bagi stabilitas negara. Dan saya tak mau ambil risiko ini."
Baca Juga: Produk Teh dari Jawa Tengah Ini Harumnya Sampai Ke Malaysia
"Masalah Timor Timur sudah harus diselesaikan sebelum Presiden ke-4 RI dipilih, sehingga yang bersangkutan dapat mencurahkan perhatian kepada penyelesaian masalah nasional dan reformasi yang sedang kita hadapi."
Alasan kedua
Saya menggap Australia sudah menjadi sahabat Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945.
"Saya yakin bila saya biarkan tentara Australia masuk ke Indonesia, saya tidak hanya akan menghina dan mempermalukan TNI, tapi juga bila Australia masuk, apa pun keputusannya nanti, yang kalah akan menyalahkan Australia."
Baca Juga: Kebudayaan Malaysia Direbut Negara Tetangganya Sendiri, Apakah Karma?
Atas alasan cerdas inilah, BJ Habibie banyak dieluhkan di kancah internasional karena tak mengandalkan kekerasan dan menumpahkan darah.
Bahkan jika dilihat dari sisi ekonomi, Indonesia mendapatkan hal yang baik dari Timor Leste.
Timor Leste yang membutuhkan infrastruktur membuat mereka tender pembangunan dimenangkan oleh BUMN Indonesia.
Hal inilah yang menguntungkan Indonesia, karena sebagai negara merdeka mereka tidak memakan dana dari Indonesia bahkan mereka mengeluarkan dana untuk keuntungan pihak BUMN.
Adapun yang dikirim ke Timor Leste sekarang menjadi ekspor dan tentunya ini mendapatkan keuntungan devisa bagi negara.
Artikel ini telah tayang di sripoku.com dengan judul Alasan Cerdas BJ Habibie Melepas Timor Leste 20 Tahun Lalu Mendapat Respon Baik dari Belahan Dunia,