Ia mengungkapkan, pelaku terorisme tadi terus bergerak membuat jaring dan sel baru dengan merekrut anak-anak muda sebagai anggota.
Mereka, lanjutnya, tentu siap mati membela agama dengan dalil yang disalahartikan, membenarkan kekerasan, sampai tidak ragu-ragu mengorbankan sanak keluarga untuk mencapai tujuan perjuangannya.
“Kasus terakhir adalah kasus Sibolga, kasus Surabaya, di mana anak-anak dan istri ikut dikorbankan dalam mencapai tujuan mereka,” ujarnya.
Dikatakannya, perlu adanya proses pembelajaran ke masyarakat untuk bisa memanfaatkan berbagai platform media secara baik dan bijaksana, agar pemanfaatannya tidak menjadi sarana penyebarluasan paham radikal terorisme.
Baca Juga: BNPT dan FKTP Kalsel Ajak Pelajar Cegah Radikalisme Lewat Karya Video
Menurutnya, penelitian juga menunjukkan bahwa, hari ini, rata-rata responden, baik itu di kalangan milenial, maupun di kalangan akademisi, tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap materi yang dibagikan oleh orang lain.
“Sehingga, tanpa disadari, kita menyebarkan hoaks,” ujarnya.
Ia memberikan contoh, kejadian penusukan yang dialami oleh ulama Syekh Ali Jaber, atau ulama yang meninggal di Cirebon.
Peristiwa tersebut, sambungnya, menjadi berita-berita yang digoreng sedemikian rupa.
“Padahal, itu, salah semua,” ungkapnya.
Baca Juga: Jadi Ketakutan Negara, TNI Emban Tugas Pokok untuk Atasi Terorisme