Fintech dan Lingkungan
Pengaruh besar fintech saat ini dapat dikatakan sebagai bukti nyatanya bahwa ekonomi milenial (milennialnomic) benar-benar dapat diandalkan. Namun, banyak pihak mulai bertanya-tanya terkait dengan kontribusi milenial dalam pembangunan berkelanjutan maupun pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan.
Terkait dengan hal tersebut, fakta mengejutkan pun mengapung ke permukaan, hasil studi dari Pusat Penelitian Oseanografi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut bahwa aktivitas di rumah selama pandemi, membuat peningkatan penggunaan plastik sekali pakai akibat aktivitas berbelanja online meroket.
Baca Juga: Desa Siaga Covid-19 Dorong Masyarakat Produksi APD secara Mandiri
Dalam penelitian yang berjudul ‘Dampak PSBB dan WFH Terhadap Sampah Plastik di Kawasan Jabodetabek’, terungkap bahwa masyarakat yang biasanya belanja online 1 sampai 5 kali dalam sebulan, meningkatkan menjadi 1 sampai 10 kali dalam sebulan selama anjuran beraktivitas di rumah. Kemudian, 96 persen paket yang dikirimkan oleh penjual kepada konsumen selalu dibungkus dengan plastik yang tebal bahkan ditambah dengan bubble wrap sebagai pelindung tambahan. Di kawasan Jabodetabek sendiri, jumlah sampah plastik dari bungkus paket hasil belanja online masyarakat jauh mengungguli jumlah sampah plastik dari kemasan.
Karena begitu tidak terkendali, belanja online malah memiliki dampak lingkungan yang cukup signifikan. Padahal, jika dapat dielaborasi dengan baik bersama milenial maka peluang untuk menciptakan ekonomi tanpa merusak lingkungan, terbuka begitu lebar.
Baca Juga: Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia Dorong Produk Unggulan dari Desa Gambut Sumsel
Pemahaman Ekologis
Tidak dapat dimungkiri, kontribusi milenial dalam pembangunan berkelanjutan atau pembangunan yang lebih ramah lingkungan atau juga pembangunan yang tidak memberikan kerusakan terhadap lingkungan, masih terbilang sangat minim. Padahal, pengetahuan milenial terkait dengan kondisi lingkungan, seperti halnya krisis iklim, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), energi terbarukan, dan banyak lainnya, terbilang sangat baik.
Dalam laporan survei yang dirilis Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org Indonesia tentang krisis iklim di mata anak muda, menyebut bahwa 90 persen anak muda (responden) khawatir atau sangat khawatir tentang dampak krisis iklim, dan tidak ada satupun (0 persen) anak muda yang menyangkal dampak dari krisis iklim tersebut. Kekhawatiran teratas meliputi krisis air, krisis pangan, dan pandemi lainnya.
Baca Juga: Kehadiran SPBU Pertamina Dorong Kemajuan Ekonomi Wilayah Perbatasan Sangihe
Kemudian, disebutkan juga bahwa hampir setengah responden melihat deforestasi dan karhutla sebagai sumber terbesar emisi gas rumah kaca (GRK), sepertiga responden menyebut asap kendaraan bermotor dan pabrik, dan seperlima dari responden menyebut pembangkit listrik berbahan bakar fosil sebagai penghasil GRK.
Mendorong Ekonomi Milenial Ekologis
Pengetahuan yang memadai tentang dampak lingkungan seharusnya dapat menjadi pedoman bagi milenial untuk mendorong terwujudnya ekonomi yang lebih berkelanjutan dengan berbagai gaya ala milenial itu sendiri.
Baca Juga: Kemensos Pastikan Bansos Dorong Penurunan Angka Stunting
Menurut hemat saya, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan milenial untuk mewujudkan pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan ala milenial itu sendiri. Pertama, menciptakan tren lifestyle yang ramah lingkungan. Sebuah kenyataan bahwa milenial selalu terdepan dalam hal menciptakan tren bagi masyarakat. Dalam hal ini, milenial harus menjadi trendsetter gaya hidup yang ramah lingkungan seperti menggunakan peralatan yang ramah lingkungan atau tidak menggunakan plastik sekali pakai, menciptakan budaya tidak membuang sampah sembarang, menciptakan kebiasaan untuk mengurangi emisi kendaraan bermotor, dan banyak kebiasaan hidup lainnya yang kekinian.
Kedua, memaksimalkan peran media sosial untuk kampanye lingkungan. Milenial yang melek teknologi sangat lihai untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi. Misalnya, dalam kasus karhutla, milenial dapat memberikan edukasi terkait dengan karhutla kepada publik melalui vlog, infografik, gambar, dan banyak lainnya, agar tercipta kesadaran bahwa merusak lingkungan itu sangat tidak baik. Kemampuan tersebut seharusnya juga digunakan untuk mempromosikan kepada publik bahwa menjaga lingkungan merupakan sebuah keharusan bagi siapa saja.
Baca Juga: Aktifis Lingkungan Ajak Warga Jalani Pola Hidup Sehat Dengan Konsumsi Sayur Organik
Ketiga, mengembangkan startup berbasis lingkungan. Karena sangat unggul dalam pengembangan fintech, milenial dapat merambah bisnis jasa lingkungan dengan memanfaatkan teknologi kekinian. Bisnis tersebut bisa berupa jasa pengelolaan sampah seperti halnya bank sampah, social entrepreneur pengembangan UMKM perhutanan sosial, pariwisata, dan banyak macam bisnis lingkungan lainnya. Tentu semua itu dapat dilakukan karena bisnis jasa lingkungan adalah bisnis masa depan.
Sangat diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki salah satu bonus demografi terbesar di dunia. Untungnya lagi, sebagian besar akan dipenuhi oleh milenial sangat produktif sebagai pendorong kehidupan yang lebih baik. Tentu untuk mewujudkan berbagai angan-angan yang selama ini dianggap mustahil, peran milenial sebagai garda terdepan perubahan itu sangat dibutuhkan.