Semarang, Sonora.ID - Tanggal 13 Oktober dikenal sebagai Hari Tanpa Bra (No Bra Day) atau Hari Tanpa Beha yang jatuh tepat di tengah Bulan Kesadaran Kanker Payudara. No Bra Day dikampanyekan untuk meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan payudara.
Hal ini diperingati membantu mengingatkan orang mengenai kanker payudara adalah penyakit yang berpotensi fatal, tetapi juga salah satu bentuk kanker yang paling dapat dicegah.
Hari Tanpa Bra adalah tentang belajar mengenali tanda-tanda peringatan dini untuk berperang melawan kanker.
Sejarah atau asal usul Bra Day hingga kini belum bisa dipastikan. Meski demikian situs sejarah dan sains, holidayscalendar.com melansir sejarah hari tanpa bra sedunia berawal dari Toronto, Kanada pada 2011.
Baca Juga: Bio Farma: Harga Vaksin Covid-19 di Indonesia Kisaran Rp 200 Ribu
BRA (Breast Reconstruction Awareness) Day diperingati untuk meningkatkan kesadaran bagi wanita yang menjalani mastektomi dan mendorong pemeriksaan diri.
Kemudian, pada bulan Juli di tahun yang sama, seseorang yang menggunakan nama samaran Anastasia Donuts menyusun Hari Tanpa Bra untuk meningkatkan kesadaran akan kanker payudara, bersama dengan situs web untuk membantu mempromosikan terjadinya acara tersebut.
Tiga tahun kemudian, dua hari digabungkan dan terpilih 13 Oktober sebagai No Bra Day atau Hari Tanpa Beha yang berpetapan dengan Bulan Kesadaran Kanker Payudara Nasional.
Baca Juga: Ribuan Pasukan Gabungan Disiagakan di Jalan Tugu Malang
Setiap tahun, pada tanggal 13 Oktober, tagar #NoBraDay atau #FreetheTatas akan muncul di media sosial. Mayoritas post yang diunggah memuat foto diri perempuan yang tengah mengeksplisitkan payudaranya.
Berdasarkan penelitian, pemakaian beha atau bra tidak berkaitan dengan kanker payudara. Relasi antara melepas bra dengan potensi kanker payudara pun masih diragukan kebenarannya oleh para pakar kesehatan.
Dilansir The Guardian, pada 1995, gagasan memakai bra berkawat terus menerus bisa menimbulkan kanker payudara merebak.
Hal ini dikompori Sydney Singer dan Soma Grismaijer yang menerbitkan buku Dressed to Kill. Gagasan ini kembali ditumbuhkan pada 2015 oleh seorang praktisi medis alternatif yang menulis di Goop, situs kepunyaan aktris Gwyneth Paltrow.
Sementara gagasan ini terus diedarkan di kalangan perempuan, tak banyak yang menelisik latar belakang para pencetus gagasan tersebut.
Baca Juga: Angka Kesembuhan Covid-19 di Sumut Meningkat Hingga 76,82 Persen
Mereka semua bukan peneliti kanker ataupun dokter, karya mereka tidak pernah diulas oleh pakar medis, serta tidak pernah dipublikasikan di jurnal kesehatan tepercaya.
Meski begitu, kampanye No Bra Day tetap populer setiap tanggal 13 Oktober.
Meski studi menyebutkan pemakaian bra tak berpotensi menyebabkan kanker payudara, kesadaran terhadap bahaya kanker ini tetap perlu ditingkatkan, karena kanker payudara bisa berakibat fatal, padahal bisa dicegah jika diketahui lebih dini.
Tidak pakai beha juga memiliki manfaat kesehatan. Sebuah studi yang melibatkan 330 wanita berusia 18 sampai 35 telah menyimpulkan bahwa secara medis, fisiologis, dan anatomis payudara tidak mendapatkan keuntungan dari pemakaian bra yang hampir konstan.
Baca Juga: Sekretaris DPRD Sulawesi Utara Positif Terpapar Covid-19