“Alhamdulillah waktu itu langsung didukung sumber daya dari BIN (Badan Intelijen Negara) dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Alhasil, mulai terlihat bagaimana pola-pola penanganan terhadap Covid-19 di Kota Surabaya,” ujarnya.
Febri menjelaskan, bahwa tracing masif yang dilakukan pemkot memang bertujuan untuk mencari tahu berapa banyak warga yang terkena Covid-19.
Dengan begitu, dapat diketahui bagaimana pola untuk penanganan selanjutnya.
“Karena ketika sudah diketahui maka pemkot tahu bagaimana penanganan dan langkah-langkah kebijakan yang harus diambil selanjutnya,” ungkapnya.
Salah satu kebijakan itupun diterapkan kepada warga Surabaya yang terkategori OTG untuk selanjutnya menjalani isolasi dan perawatan di Hotel Asrama Haji.
Baca Juga: Demo Buruh di Surabaya Dicederai Perusuh, Risma: Kenapa Kamu ke Sini?
Sedangkan pasien yang memiliki komorbid, dia dirawat di rumah sakit.
“Karena mata rantai ini harus diputus agar tidak menulari, maka diambil kebijakan untuk memakai Hotel Asrama Haji,” jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, ibu hamil serta guru di sekolah juga difasilitasi untuk swab gratis.
Upaya ini diiringi pula dengan menerapkan swab dadakan di lokasi-lokasi keramaian. Kini, swab dadakan berkembang menjadi Swab Hunter yang dibentuk per kecamatan.
Namun, upaya pemkot dalam memutus mata rantai pandemi ini rupanya tak berhenti sampai di situ. Sebab, di sisi lain pemkot juga menyediakan fasilitas pemeriksaan sampel swab di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda).
“Alhamdulilah pola-pola penanganan strategi yang dipikirkan oleh Ibu Wali Kota ini menunjukkan hasil yang baik. Terbukti, dengan self assessment sampai 4 Oktober 2020, Kota Surabaya dikategorikan risiko rendah,” pungkasnya.
Baca Juga: Demo Berujung Perusakan, Risma: Saya Setengah Mati Bangun Kota Ini!