Dalam proses pembentukan kedua payung hukum tersebut, Agus bahkan terlibat menjadi tim penyusunan dari kalangan praktisi dan pegiat seni serta budaya Banjar.
Ia menduga bahwa ‘mandul’-nya payung hukum tersebut kemungkinan besar karena ada anggapan bahwa bahasa Banjar tidak akan mati meskipun tidak diurusi karena masih dituturkan oleh masyarakatnya.
Padahal dalam perkembangannya, kemajuan teknologi dan arus informasi yang cepat juga berpengaruh pada bahasa Banjar yang tak lagi murni dari segi struktur maupun logat atau dialek yag digunakan masyarakatnya.
Baca Juga: Siap Lantik Anggota PAW, DPRD Kalsel Gelar Gladi Bersih
Di mana bahasa Banjar memiliki tiga sub dialek, yakni Banjar Kuala, Banjar Batang Banyu dan Banjar Hulu. “Kita ini bahasa Banjar Kuala,” jelas Agus lagi.
Yang menjadi persoalan, bahasa Banjar Kuala sangat rentan untuk melebur dan terpegaruh bahasa serapan dari luar daerah ataupun bahasa Indonesia, sehingga banyak kosakata yang tak lagi diucapkan atau bahkan diketahui oleh generasi mudanya.
Berbeda halnya dengan bahasa Banjar Batang Banyu dan Banjar Hulu, yang lebih kental dialeknya.
“Dengan adanya perda itu akan mudah sebenarnya. Tinggal Disdikbud Kalsel saja lagi, yang harapannya bisa jadi muatan lokal di pendidikan. Minimal bisa jadi acuan untuk pemerintah kabupaten/kota,” tandasnya.