Untuk mendapatkan data, menurutnya diperlukan program pasca rehab atau after care yang tahun ini dimulai dengan menyertakan agen pemulihan di kelurahan atau desa. Hal ini untuk mengetahui data alamat rumah sehingga bisa ditunjuk agen pemulihan untuk mendampingi setelah mengikuti proses rehabilitasi.
"Ketika kita dampingi, hampir 99 persen mereka tidak relapse (kambuh) lagi. Karena kita dampingi, kita ketemu orang tua dan kondisinya. Jadi 70 persen relapse itu terjadi ketika tidak ada program pasca rehab dan 30 persen relapse ketika mereka ikut pasca rehab. Ini penelitian tahun 2015," ungkapnya.
Ia belum bisa memastikan prosentase angka saat ini, karena data orang yang direhab sifatnya tertutup. Selanjutnya, agen pemulihan pada tahun ini akan dijalankan kembali pada tahun depan dengan nama intervensi berbasis masyarakat.
"Karena tahun ini 20 persen mereka (klien) tidak kembali ke alamat semula ketika dia direhab. Karena mereka harus menghindari trigger eksternal kawan mereka yang tahu sebelum rehab. Kita sarankan dia tidak lagi bergaul dengan mereka (kawan lama klien) sehingga klien tidak membocorkan alamat saat ini. Kita juga kehilangan kontak dengan mereka," urai Poerwanto.
Baca Juga: Gubernur Bersama Forkopimda Jatim Tinjau Gereja, Pastikan Keamanan & Patuhi Prokes
Sementara itu, Kepala Bagian Umum BNNP Jatim, Hari Prianto menyampaikan bahwa selama tahun 2020 ini ada 180 klien telah mengikuti program atau kegiatan pasca rehabilitasi reguler. Tahun 2019 ada 75 dan 60 klien pada tahun 2018.
"Berkaitan dengan kegiatan layanan pasca rehabilitasi, saat ini di BNNP Jatim melaksanakan pasca rehabilitasi melalui agen pemulihan yang tersebar di BNNK. Seperti di Surabaya, Sidoarjo, Batu, Tulungagung, dan BNNK Sumenep," kata Antok, panggilan akrab Hari Prianto.
Ia menyampaikan, selama tahun 2020, BNNP Jatim mencatat hasil pelaksanaan asesmen terpadu oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT), bahwa vonis rehab masih sangat minim di tingkat pengadilan. Hasil penjatuhan vonis, setelah mendapat rekom dari tim TAT merupakan hak mutlak hakim dalam memutus perkara, yang tidak bisa diintervensi oleh hasil asesmen.
Menurutnya, hal ini perlu ada persamaan persepsi antar instansi dan lembaga tentang tersangka pecandu narkotika yang dalam proses hukum pengadilan bisa mendapatkan putusan rehabilitasi.
"Tahun 2020 ada 69 asesmen, 10 vonis rehabilitasi, 13 vonis penjara dan 46 masih dalam proses pengadilan," pungkasnya.