Sementara, "unwilling" atau kondisi tidak bersungguh-sungguh, menurut Pasal 17 Ayat (2) Statuta Roma, adalah kondisi bila negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.
Melihat dari konsep tersebut Komnas HAM menilai bahwa Mahkamah Internasional tak akan bisa untuk melakukan peradilan dalam kasus enam laskar FPI.
"Jadi, sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat tadi mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu, Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan," kata Taufan.
Ia menegaskan, Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional.
Baca Juga: Aziz Yanuar: FPI Tak Berubah, Hanya Ganti Nama untuk Kendaraan Baru
Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman apabila sistem peradilan nasional "collapsed" atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali.
Karena itu, Komnas HAM meyakini pelaporan kematian 6 laskar FPI akan menemui hambatan. Sebelumnya diberitakan, tim advokasi kematian enam laskar FPI mengklaim telah melaporkan ke Mahkamah Internasional.
Tidak hanya itu, tim advokasi juga telah melaporkan ke Committe Against Torture (CAT) yang bermarkas di Jenewa, Swiss, pada 25 Desember 2020.
Baca Juga: Kota Bogor Miliki Rumah Sakit Lapangan Covid-19 Sejak 18 Januari 2021