Menurut Nazwa Maghfira, Duta Genre kota Binjai yang ikut dalam perbincangan, para remaja sekarang lebih kritis, namun belum bijaksana mengambil keputusan. Remaja belum paham benar pacaran itu apa dan harusnya bagaimana. Lebih banyak yang coba-coba atau latah karena temannya sudah mempunyai hubungan lebih private
“Banyak yang merasa pacaran itu berarti sudah memiliki hak terhadap pasangannya. Berhak mengekang bergaul. Bahkan untuk mengambil keputusan pun harus bertanya pada pacar. Takut putus jika tidak dituruti kemauan pacar”, kata Nazwa
Di sisi lain, Ardiansyah yang juga Duta Genre kota Binjai menilai, seharusnya pacar bisa mejadi sumber energi positif, menyemangati, memberi masukan dan dukungan ke arah yang positif.
“Pacaran tidak harus merubah orang yang dicintai, melainkan menerima apa adanya pasangan. Pasangan berhak untuk berkembang, menggali potensi diri. Sebagai pasangannya ada baiknya kita ikut mendukung pujaan hati untuk ke arah lebih baik”, ujar Ardiansyah.
Baca Juga: Pernah Nyangkut di Toxic Relationship? Ini 3 Tanda Trauma yang Sering Diabaikan
Bagaimana remaja menyikapi Toxic Relationship atau Pola Asuh Toxic dari orang tuanya?
Di mata remaja, kebanyakan orang tua merasa yang dilakukannya adalah yang terbaik. Sementara dalam pemikiran remaja, hal itu tidak sesuai dengan karakter dan keinginannya. Belum lagi orangtua sering membandingkan potensi anaknya dengan anak lain bahkan anggota keluarga sendiri.
Padahal remaja menginginkan apresiasi dari orangtua untuk hal yang dipilih dan dilakukan mereka.
Menurut kak Mei, kalau dikaji lebih dalam, toxic relationship tidak akan terjadi jika salah satunya bukan bucin (budak cinta). Bucin adalah sebutan yang diberikan kepada orang yang terlalu mencintai pacar/ pasangannya.