Bisa diartikan sebagai adopsi yang tidak diakui atau tidak pantas atas kebiasaan, praktik, ide, dll. dari satu orang atau masyarakat oleh anggota orang lain dan biasanya orang atau masyarakat yang lebih dominan.
Sederhananya, praktik ini terjadi ketika seseorang mengadopsi sesuatu dari budaya yang bukan miliknya sendiri termasuk gaya rambut, pakaian, dan cara bicara.
Tudingan ini bagi sebagian orang dinilai tak berdasar. Pasalnya, era globalisasi memungkin pertukaran dan pengaruh budaya tradisional dalam bentuk-bentuk populer.
Akibatnya, ini dianggap bisa membatasi kebebasan berekspresi seseorang dan menjadi belenggu. Misalnya ketika orang tidak lagi bebas memilih kostum atau gaya yang ia inginkan karena khawatir melakukan tindakan aposiasi budaya ini.
Baca Juga: Jelang PON ke-XX Papua, DPRD Kalsel Sepakat Tambah Anggaran Atlet
Memahami konteks sejarah dari istilah 'Cultural Approriation'
Agar tidak tejebak pada perilaku ini, penting bagi setiap orang untuk memahami konteks sejarah soal praktek aprosiasi budaya ini.
Mengacu pada laman EverydayFeminism, apropriasi budaya tidak sama dengan pertukaran kultur.
Apropriasi ini mengacu pada dinamika kekuatan tertentu di mana anggota budaya dominan mengambil elemen dari budaya orang-orang yang secara sistematis ditindas oleh kelompok tersebut.
Kuncinya soal kesetaraan ras dan budaya yang sayangnya belum benar-benar terwujud di berbagai belahan dunia ini.