Sonora.ID - Isu mengenai diskriminasi dirasa tidak pernah absen dari daftar masalah yang sedang berusaha diselesaikan, sama halnya dengan ketidaksetaraan gender.
Fenomena pink tax menjadi bukti dari berkembangnya masalah diskriminasi terutama gender based disparity.
Pink tax adalah istilah yang mulai berkembang untuk menggambarkan biaya lebih yang harus ditanggung oleh perempuan dalam pembelian barang konsumsi atau penggunaan suatu jasa dengan fungsi dan bentuk yang sama dengan produk pria.
Biasanya hal ini terlihat jelas dari produk keseharian kita seperti pakaian, perawatan diri, dan produk kesehatan.
Baca Juga: Demi Lovato Akui Non-Biner, Ini 13 Istilah Gender yang Perlu Diketahui
Dengan tagline “shrink it and pink it” suatu produk dari barang yang sama, dengan fungsi yang sama dan brand yang sama dapat disulap dan membedakan harga antara produk laki-laki dan perempuan.
Biasanya produk-produk tersebut identik dengan 2 varian warna yaitu pink untuk perempuan dan biru untuk laki-laki.
Hal ini dibuktikan oleh survei dari Departement of Consumer Affairs di New York pada tahun 2015, survei tersebut menunjukan bahwa dari 800 produk dan 90 brand yang berbeda barang-barang dengan versi wanita memiliki rata-rata harga yang lebih mahal daripada pria.
Baca Juga: Selama Pandemi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Meningkat
Tidak hanya di New York, fenomena pink tax ini juga terjadi di negara-negara lainnya termasuk Indonesia.
Disparitas ini kemudian berdampak pada kaum perempuan yang harus membayar gender tax yang lebih tinggi atas suatu produk yang identik dengan pria.
Dalam perkembangannya fenomena pink tax menemui beragam pro dan kontra, beberapa studi menunjukan bahwa alasan paling rasional mengapa pink tax dapat tercipta adalah perbedaan biaya produksi antara produk versi perempuan dan laki-laki.
Baca Juga: Terkait Penahanan Millen Cyrus, DPR: Polisi Harus Bijak, Khususnya Terkait Gender
Hal ini dikarenakan biasanya produk wanita memerlukan biaya lebih untuk menghasilkan bentuk, warna, dan aroma yang lebih menarik dibandingkan produk pria.
Selain itu beberapa studi juga menunjukan bahwa strategi pemasaran untuk perempuan dan laki-laki berbeda sehingga diperlukan biaya lebih untuk pemasaran produk versi perempuan.
Walaupun begitu masih banyak yang beranggapan bahwa fenomena pink tax merupakan suatu bentuk diskriminasi yang berbasis gender. Kalau menurut kamu gimana?, share pendapat kamu dikomentar yah!
Baca Juga: Pemprov Sulsel Masukkan Kesetaraan Gender dalam Rencana Aksi Daerah
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal "Pink Tax", Penyebab Harga Produk Perempuan Lebih Mahal".