Banjarmasin, Sonora.ID – Sebagian besar orang melihat bunga teratai yang tumbuh subur di kolam-kolam alami hanya sebagai hiasan.
Padahal, di tangan yang tepat, tanaman tersebut dapat diolah menjadi berbagai bentuk.
Di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang sebagai wilayahnya merupakan rawa, keberadaan bunga teratai atau Nymphaea dalam bahasa latin, sangat mudah ditemui.
Tak heran jika oleh masyarakat setempat, tanaman tersebut dimanfaatkan dengan berbagai cara.
Salah satu yang cukup populer adalah wadai (kue) talipuk, yang diolah dari biji bunga teratai yang sudah dikeringkan dan digiling halus menjadi tepung.
Baca Juga: Road to Fesyar KTI 2021, KPw BI Kalsel Gandeng UMKM Ikut Fesyar Banua
Biasanya dimasukkan ke dalam campuran adonan kue cincin, dodol dan apam, yang banyak dijual di pasar-pasar tradisional setempat.
Namun popularitasnya mengalami penurunan karena kue tersebut identik dengan orangtua dan kurang begitu diminati generasi muda.
Saat ini, berbagai olahan dari tepung talipuk mulai bermunculan untuk menggaet anak muda sebagai peminatnya.
Seperti yang dilakukan Enik Maslahah, salah satu pegiat UMKM di Kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara yang memanfaatkan tepung talipuk sebagai bahan dasar untuk membuat kukis atau kue kering.
Baca Juga: BLT UMKM Rp 1,2 Juta Mulai Disalurkan, Berikut Ini Syarat dan Cara Cek Penerimanya!
Sejak tahun 2018, Ia mencoba memproduksi kukis talipuk dengan harapan dapat menjadi pilihan jajanan baru anak muda yang cenderung lebih suka dengan hal-hal yang modern.
“Kalau wadai talipuk biasa anggapannya kan lebih ke selera orangtua, sedangkan anak muda sekarang ini lebih penasaran dengan kue-kue kekinian,” ungkapnya ketika ditemui Smart FM saat pameran Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Banua di Banjarmasin, baru-baru ini.
Selain itu, penggunaan bahan dasar talipuk juga sebagai bagian dari advokasi untuk pelestarian rawa yang banyak terdapat di daerah tersebut.
Baca Juga: UMKM Denpasar Harus Bangkit, Walikota: Digital Marketing Solusi saat Pandemi
“Ini kita olah dari hilirnya dulu dengan harapan nanti di hulunya tumbuh, jadi rawa lebih lestari dan bahan pangan lokal juga lebih dikenal,” tambah Enik yang juga menjelaskan bahwa produk olahannya ramah lingkungan. Baik dari bahan maupun proses produksinya.
Ia mengakui jika ada kendala yang dialami, terutama saat memasarkan produk kukis talipuk di pasaran di awal produksi. Seperti masih adanya stigma di masyarakat yang cenderung menilai talipuk sebagai makanan murah dan hanya disukai oleh orangtua saja.
Padahal dari segi rasa, olahan dari bahan tersebut mampu bersaing dengan bahan-bahan lainnya, apalagi jika diolah dengan baik.
Baca Juga: Ombudsman Jateng Soroti Penanganan UMKM oleh Aparat selama PPKM Terlalu Kasar
Bahkan, sebagai bahan pangan lokal, dalam 100 gram biji teratai atau talipuk kering mengandung 332 kalori, dengan kandungan karbohidrat mencapai 80 persen, protein 16 persen dan 5 persen lemak. Termasuk juga didalamnya ada kandungan mangan, fosfor dan magnesium yang sangat diperlukan tubuh.
Enik juga sengaja mengemas produknya dengan kemasan yang berkualitas, agar lebih menarik dan mampu menggaet pangsa pasar yang lebih luas.
Saat ini sudah ada 4 varian kukis talipuk yang dibuatnya, mulai dari original dan cokelat yang ditujukan untuk kalangan muda, serta spekuk dan kelapa yang cenderung disukai oleh kalangan dewasa.
Baca Juga: Bakal Merepost 30 UMKM Selama PPKM Darurat di Lapak Ganjar, Begini Syarat dan Ketentuannya