Prof Emil juga mengingatkan pemerintah agar dalam menyusun kebijakan pertanian, tetap bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Ia pun menyebut situasi saat ini, dimana nilai tukar petani sangat rendah, bahkan lebih rendah dari modal yang harus dikeluarkan petani.
"Nilai tukar petani pada tahun 2021 ini dibawah 100. Seluruh Pulau Jawa, Bali, kemudian NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Timur, Maluku Utara, Aceh dan Lampung, semua menduduki posisi nilai tukar petani di bawah 100. Berarti yang diterima oleh para petani lebih kecil dari apa yang dikeluarkan petani. Harga-harga di lapangan tidak menguntungkan para petani kita," ungkapnya.
Senada dengan Prof Emil Salim, Ekonom Senior DR Rizal Ramli mengatakan, salah satu permasalahan besar petani Indonesia adalah pupuk. Menurutnya akses terhadap pupuk murah saat ini sangat sulit, karena dalam setiap prosesnya, baik itu distribusi pupuk bersubsidi, maupun distribusi bantuan pertanian, seluruhnya sudah menggunakan pola-pola modern, menggunakan sistem kartu maupun perbankan. Sementara karakteristik petani Indonesia yang rerata sudah berumur diatas 50 tahun, tidak familiar dengan hal tersebut.
Rizal Ramli juga menyoroti peran Koperasi Unit Desa (KUD) yang pada zaman Orde Baru dahulu sudah baik dan mampu mengakomodir kepentingan petani, namun saat ini peranannya justru semakin memudar.
"Sistem yang sudah bagus itu kok diubah. Padahal mereka bisa beli bibit disitu, beli pupuk disitu, jual disitu, pinjam modal juga disitu, kalau sekarang semua serba kartu, mau jual harus ke kota dan lainnya. Maka itu karena gak mau ribet, petani akhirnya membeli pupuk non subsidi yang lebih mahal. Hasilnya, biaya produksi mahal, padahal harga jual gabah nya rendah," tuturnya.
Hal lainnya yaitu terkait program Food Estate. Menurutnya, seperti yang disampaikan Prof Emil Salim, bahwa program food estate itu seharusnya melibatkan petani sebanyak-banyaknya.
"Memang kita harus buka lahan pertanian baru 2 juta hektar, tapi ini harus dilakukan petani-nya sendiri. Dicari juga lahan yang resikonya kecil, seperti di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, karena mataharinya banyak, tanahnya gak berbukit-bukit, air juga banyak, Tidak perlu Food Estate, yang penting petaninya terlibat," pungkasnya.