Kedua, besarnya potensi Pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.
Ketiga, transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.
"Ditambah lagi manajemen yang kelihatannya efisien karena dari 11 hanya menjadi 6 direksi. Padahal ternyata banyak penambahan direksi pada sub holding," ujar Arie Gumilar.
Keempat, potensi terjadinya Silo Silo antar subholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing.
"Terjadi tumpang tindih yang terjadi antara sub holding," tegasnya Arie.
Kelima, kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO. Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin antar subholding saling bersaing ketimbang memikirkan kepentingan rakyat.
Keenam, hilangnya Previlege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO.
"Kita tahu ketika sub holding di IPO itu menjadi perusahaan privat," tegas Arie.
Terakhir, mengancam Ketahanan Energi Nasional dan Program Pemerataan Pembangunan (BBM 1 harga) tak berjalan.
FSPPB sesuai dengan visi dan misinya terus berjuang untuk menjaga kelangsungan bisnis Pertamina dan keadulatan energi nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berbagai upaya telah kami lakukan sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di negeri ini.
"Serikat pekerja dapat memberikan sumbangan pemikiran yang mencakup yang lebih luas," tuturnya.