Palembang, Sonora.ID – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sudah merillis data kekerasan terhadap jurnalis periode 2020 – 2021. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan, ada 51 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
“Totally 2020 – 2021, ada 90 kasus, meningkat 51 kasus dari periode sebelumnya,” ujar Prawira Maulana, Ketua AJI Palembang saat wawancara dengan Sonora (18/09/2021).
Peningkatan paling tinggi terjadi di bulan Juni, sebanyak 12 kasus. Kekerasan terhadap jurnalis mulai dari kekerasan fisik, ancaman, terror, gugatan perdata, intimidasi, pemidanaan dan perusakan alat atau data liputan. Yang paling banyak adalah kekerasan fisik sebanyak 23 kasus.
Meskipun regulasi terhadap jurnalis sudah ada yaitu dengan adanya undang-undang PERS, namun seringkali regulasi itu tidak diindahkan baik oleh narasumber maupun aparat penegak hukum.
Pengetahuan tentang kerja-kerja jurnalis perlu lebih diedukasi lagi ke masyarakat lagi.
Jaminan kebebasan pers dibuat berdasarkan adanya jaminan masyarakat untuk mendapatkan kebebasan. Ketika pers tidak bebas maka masyarakat tidak akan mendapatkan informasi secara bebas.
Baca Juga: AJI Mendorong Pemerintah Bersinergi Mempercepat Herd Immunity
Penghalangan kerja-kerja pers sudah diatur dalam undang-undang pers secara baik, namun sayang undang-undang tersebut jarang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan pers.
Penyelesaian lebih banyak menggunakan undang-undang lain termasuk undang-undang ITE.
Harapannya kerja-kerja jurnalistik dihormati oleh masyarakat, negara dan penegak hukum.
Selain itu para jurnalis juga harus professional sehingga kasus kekerasan tidak terjadi. Jurnalis juga harus berpedoman pada kode etik jurnalistik.
“Kami mendorong agar penegak hukum menggunakan undang-undang pers dalam menyelesaikan kasus-kasus pers. Kekerasan terhadap jurnalistik harus diusut tuntas, ada penegakan yang benar terhadap pelaku kekerasan terhadap para jurnalis. Kami juga mendesak agar regulasi ITE di revisi karena mengancam kebebasan pers,” pungkasnya.