Bandung, Sonora.ID - Baru-baru ini publik dihebohkan dengan adanya kebocoran data pribadi penduduk Indonesia.
Bahkan kehebohan makin menggema tatkala kebocoran data ini dialami pula oleh orang nomer satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo.
Kebocoran data yang terjadi belum lama ini bukanlah hal yang baru. Sebut saja di pertengahan Mei 2021, lebih dari 270 juta data pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bocor, berikutnya pada tahun lalu, sebanyak 91 juta data pengguna dan tujuh juta data merchant Tokopedia diretas dan dijual di situs daring.
Begitu pula dengan 2,3 juta data pemilih Pemilu 2014 milik KPU dan 230 ribu data pasien Covid-19.
"Ini bukan sekedar bocor, tapi memang ada yang meretasnya," ucap Pengamat Politik dan Keamanan UNPAD Bandung, Muradi pada Webinar Kebocoran Data dan Urgensi Omnibuslaw Elektronik yang diadakan oleh Indonesian Politics Research & Consulting & HMPS Ilmu Politik Unpad, Selasa (14/9/2021).
"Tapi ya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) seperti diam saja dan tidak merespon," ucapnya lagi.
Menurut Muradi, keberadaan BSSN harus menjadi pertimbangan yang cukup penting, terlebih tugas BSSN itu cukup vital, seperti mengantisipasi berita-berita atau informasi-informasi hoax, ancaman peretasan (hack), kebocoran dan pencurian data, transaksi ilegal, sampai serangan siber.
"Lembaga ini tidak cukup bermodalkan Perpres, lembaga ini harus lebih dioptimalkan, dikuatkan, disinergikan dan diberdayakan kembali. Nah, kasus bocor data ini kan sangat terkait dengan kebijakan atau protokol yang nantinya bisa dikeluarkan BSSN," kata Muradi.