Sonora.ID - Dari sekian juta permasalahan domestik di Indonesia, salah satunya yang masih relevan hingga hari ini adalah keberadaan rumah layak huni bagi kelompok kecil.
Rumah layak huni tersebut pun tidak sebatas mengindikasikan rumah yang bersih.
Hal ini menjadi perhatian pemerintah seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur dan PUPR Herry Trisaputra Zuna dalam siaran Radio Sonora (23/09/21).
Dalam siaran radio bertajuk ‘Program Satu Juta Rumah Kementerian PUPR’, Herry memaparkan apa itu program rumah layak berikut dengan ketentuannya yang perlu kamu ketahui, terlebih untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Baca Juga: Atasi Kemacetan Jembatan Kapuas I, Edi Kamtono Sebut Pembebasan Lahan Sudah Dibayar
“Rumah layak huni ini mengacu pada program SDG (Sustainable Development Goals),” kata Herry.
SDG ini menyertakan standar bagi rumah layak huni, seperti ketahanan bangunan dan kesehatan penghuni mulai dari pencahayaan serta sirkulasi udara.
Selain itu, rumah juga harus memiliki akses terhadap fasilitas umum. Setidaknya para penghuni dapat memiliki akses yang mudah terhadap listrik, jalan, air minum atau sanitasi air.
Dari sisi pengukuran, luasan tanah rumah layak huni harus mencapai angka minimal 21 meter persegi dan maksimalnya adalah 36 persegi.
Baca Juga: Wakapolda DIY Dampingi Menteri PUPR untuk Cek Shelter Isoter
Dengan ketentuan tersebut, rata-rata jarak antar individu dalam rumah adalah 7,2 meter
Penghitungan tersebut ditetapkan dengan tujuan agar para penghuni tidak hidup berhimpitan layaknya dalam rumah petak.
Selain dari sisi hak kelayakan hidup yang perlu kamu ketahui, terdapat pula ketentuan administratif yang perlu kamu pahami untuk memperoleh rumah ini
Umumnya, rumah ini ditujukan bagi kelompok yang tergolong sebagai Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Secara jumlah, ketentuan tersebut mengindikasikan jika Program Satu Juta Rumah ditujukan bagi keluarga yang penghasilan totalnya Rp 8 juta.
Baca Juga: Groundbreaking Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Ditreskrimsus Polda Bali
“Hal ini tidak berarti bahwa penghasilan masing-masing suami dan istri delapan juta, yang jika ditotalkan menjadi enambelas juta,” jelas Herry.
Hingga 2021 ini pun masyarakat yang ditargetkan masih tertuju kepada mereka yang berstatus sebagai pekerja formal.
Herry menjelaskan kalau normatifnya program ini membuka keadilan sosial yang artinya juga berlaku bagi para pelaku usaha atau pekerja non-formal.
Namun hal ini masih menjadi PR bagi Kementerian PUPR untuk menyediakan mekanisme pembayaran dan penjaminan yang lebih efektif bagi para pekerja non-formal.
Mekanisme tersebut diharapkan sudah ada di tahun 2022 mendatang.