Sonora. ID - Seni menapaki perjalanan sejarah yang berkelanjutan. Ia berkembang dan berubah sesuai dengan pemikiran dan tangan-tangan yang menggerakannya.
Perbedaan dinamika sosial, budaya, ekonomi, politik, serta teknologi terbukti dapat memengaruhi perspektif, ekspresi dalam berkarya, hingga cara para seniman mengenalkan karyanya ke publik.
Jika para seniman senior familiar dengan format galeri, pameran, atau museum seni rupa yang pakem, kebanyakan seniman generasi muda memilih jalan yang lebih fleksibel dan eksploratif.
Baca Juga: Omongan Seniman Susah Dipegang? Tompi: Hampir 100 Persen Bener sih
Mereka memanfaatkan segelintir medium baru untuk menyampaikan karyanya.
Beragam media sosial, situs web, hingga yang belakangan ini mulai populer semenjak mobilitas terbatasi oleh pandemi—ekshibisi virtual—menjadi wadah untuk mempertunjukkan sekaligus membuka ruang interaksi dengan publik.
Berbeda dengan seniman era 90-an, 80-an, dan sebelumnya yang memiliki pakem tersendiri terhadap nilai yang dianut, seniman masa kini dianggap lebih luwes dalam melancarkan kolaborasi dengan pihak lain, seperti misalnya instansi pemerintahan maupun merek-merek lokal dan internasional.
Baca Juga: Gunakan Karya Seniman Perancis Tanpa Izin, Penyanyi Pamungkas Minta Maaf
Fenomena ini menandakan bahwasanya seni semakin diterima di masyarakat. Sebagai seniman kontemporer yang lahir di antara dua generasi tersebut, Eko Nugroho berujar bahwa ini merupakan hal yang positif.
“Ketika art (seni) bersentuhan dengan merchandising (jual-beli), art bersentuhan dengan produk dan industri yang besar, dan itu diamini, dan disenangi, dan dirayakan, something positif menurut saya, dan ini kita harus merasakannya,” ujarnya.
Pada tahun 2013, Eko sendiri berkesempatan untuk berkolaborasi dengan merek internasional Louis Vuitton. Walau mengaku dirinya saat itu bagaikan di ujung pedang karena dibanjiri oleh hujatan, Eko menanggapi situasi tersebut dengan konsistensinya dalam berkarya.
Baca Juga: Tari Rancak Denok, Tari Kreasi Semarang yang Terinspirasi dari Seni Topeng
Eko melihat bahwa seniman muda memiliki ruang tersendiri untuk bersinar, seperti misalnya melalui media sosial. Mereka dapat meraih popularitas melalui medium tersebut, kemudian turut mengolah sasikomersialisasi karyanya sendiri melalui merchandise atau bentuk-bentuk lainnya.
Bagi Eko, ini adalah sebuah proses dalam sejarah kesenian. Ke depannya, akan ada perkembangan hingga benturan-benturan yang menarik untuk disaksikan.
Eko menuturkan, perubahan ini tidak merugikan posisinya. Ia justru merasa diuntungkan karena semakin banyak orang mengenali karyanya pula melalui situs berjejaring.
“Ini masih proses, kita mengalaminya dan menyenangkan. Saya juga enggak dirugikan dengan situasi ini, malah diuntungkan karena makin meluas,” ujar Eko.
“Saya lihat banyak potensi-potensi anak muda dengan karyanya. Menarik,” imbuhnya.
Baca Juga: Tes Kepribadian: Pasangan Mana yang Menurut Anda Profesinya Seniman?
Seniman asal Yogyakarta ini juga memperingati para seniman muda. Ketika semakin banyak orang yang menaruh perhatian pada pribadi dan karyanya—misal, dengan jumlah pengikut di laman media sosial yang semakin banyak—maka mereka akan semakin leluasa dalam berkarya dan mendapat sokongan dari sana.
Namun, tentu hal ini juga akan menjadi bumerang bagi mereka karena akan ada semakin banyak mata yang akan menyorotinya. “Popularitas itu bisa menjadi kendaraanmu, tapi bisa jadi bumerangmu,” tutur Eko.
Cerita ini dikutip dari episode ke-9 di season dua siniar BEGINU yang bertajuk Eko Nugroho, Seni Jalanan, Spons, dan Filsafat Ember Bocor. Selengkapnya, Eko berbincang dengan Wisnu Nugroho, pemimpin redaksi Kompas.com, mengenai bagaimana seni dan kesenian tumbuh, sikap hidup menjadi seperti spons, hingga keseimbangan antara ego sebagai seniman dengan kerja-kerja tim dari banyak kecakapan lain.
Dengarkan BEGINU di Spotify, Google Podcast, dan platform pemutar audio favorit Anda lainnya. Klik ikon di bawah untuk mendengarkan.
Baca Juga: Pakai Artwork Seniman Tanpa Izin, Pamungkas Minta Maaf dan Klarifikasi