Rush Money di Indonesia
Jika sejarah di luar negeri merekam kejadian ini pada periode depresi hebat dan krisis moneter 2008-2009, masyarakat Indonesia pertama kali mulai mengalaminya pada krisis moneter tahun 1998.
Kejatuhan mata uang Bath (Thailand) pada tahun 1997 berdampak juga pada pelemahan nilai rupiah sehingga pada suatu titik dolar menembus nilai Rp 17.000.
Keputusan untuk mengetatkan kebijakan likuiditas oleh bank sentral kepada perusahaan Indonesia justru berakibat pada krisis kepercayaan publik masyarakat kepada perbankan.
Runtutan kejadian inilah yang kemudian berakhir pada Rush Money di Indonesia.
Istilah ini sempat kembali populer pada November 2016 ketika mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama kembali memajukan namanya di pertarungan pemilihan calon gubernur selanjutnya.
Tahun lalu, isu ini juga hangat diperbincangkan ketika Covid-19 mulai melanda perekonomian Indonesia.
Baca Juga: Instrumen Investasi Terbaik: Saham atau Reksadana, Mana yang Dipilih?
Dampak Akhir Rush Money
Agar sejarah buruk ini tidak terulang, bank biasanya akan melakukan antisipasi yang terbukti dapat teruji.
Melansir dari Ajaib.com, persiapan tersebut termasuk:
Sebagai masyarakat umum, kita bertanggung jawab untuk selalu kritis dan tidak impulsif kepada rumor atau isu yang mungkin dikembangkan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Keputusan kita sebagai nasabah memiliki pengaruh pada kestabilan ekonomi negara kita.
Bertindak sesuai data yang akurat atau anjuran pemerintah adalah langkah realistis yang bisa kita ambil saat isu ini mulai beredar.
Baca Juga: Fatwa Haram untuk Uang Kripto, Begini Penjelasannya!