Healthtech di Indonesia: Bagaimana Peluangnya di Masa Depan?

16 November 2021 22:30 WIB
Ilustrasi healthtech.
Ilustrasi healthtech. ( rawpixel.com / Busbus)

Sonora.ID – Angka pengguna internet di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Melalui hasil survei yang dipublikasikan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), diketahui bahwa pada periode 2019-kuartal II/2020 pengguna internet di tanah air meningkat 8,9% dari tahun 2018.

Semakin familiarnya masyarakat dengan internet, maka penetrasi produk-produk digital juga dapat tumbuh secara beriringan. Terutama berkat pandemi, ketika pembatasan sosial menghalangi gerak-gerik masyarakat; beragam layanan digital mulai menjadi opsi alternatif.

Salah satunya dalam bidang kesehatan. Dengan banyaknya orang yang menghindari kunjungan ke berbagai institusi kesehatan seperti rumah sakit, klinik, atau puskesmas, penggunaan layanan kesehatan berbasis teknologi (healthtech) pun mengalami pelonjakan.

Sebagai contoh, dalam dua tahun belakangan Alodokter—salah satu platform penyedia konsultasi dokter secara daring—meraih peningkatan pengguna hingga 200 persen lebih, sebagaimana dikutip dari katadata.co.id.

Begitu pula dengan bisnis rintisan (startup) dengan fokus di healthtech lainnya yang menyambut situasi ini dengan tanggap. Pengayaan fitur terus diupayakan, seperti dengan membantu pengguna (pasien) memperoleh informasi dan mendapat diagnosis awal seputar Covid-19, hingga menguji persyaratan vaksinasi.

Dengan melihat bahwa pandemi menjadi salah satu katalisator bagi akselerasi bidang healthtech di Indonesia, lantas bagaimana pemodal ventura melihat potensi ini? Dalam siniar (podcast) OBSESIF S3 episode kesembilan, Andreas Dymasius selaku Senior Investment Associate di Skysar Capital berbincang seputar pandangannya mengenai fenomena tersebut.

Baca Juga: 'Startup Edutech' Kian Curi Perhatian Investor, Apa Daya Tariknya?

Pergeseran tren di masyarakat

Menurut Andreas, selama ini masyarakat bertendensi untuk mengunjungi institusi kesehatan hanya ketika sakit. Sementara, idealnya setiap pasien perlu melakukan pemeriksaan kesehatan atau konsultasi secara rutin.

Namun, Andreas menyebut, ke depannya akan ada pergeseran tren di masyarakat yang kemungkinan besar akan terlebih dahulu terjadi di wilayah kota-kota besar. Masyarakat akan mulai berfokus untuk menjaga kesehatan melalui tindakan preventif (preventive wellness).

“Nantinya atau di jangka waktu yang lebih panjang, mungkin lima sampai sepuluh tahun ke depan, mindset orang juga akan berubah. Kalau di US, mereka udah kenal istilahnya value-based care. Di Indonesia kita masih asing terhadap paradigma tersebut, ya,” ujarnya.

Dengan kondisi itu, startup healthtech pun dapat memanfaatkan peluang dengan merakit produk yang bisa menunjang preventive wellness tersebut. Sebagai contoh, yakni produk untuk mengawasi kalori, kadar gula, pengingat (reminder) untuk konsumsi suplemen kesehatan, dan sebagainya.

Selain itu, kondisi ini juga dapat digunakan untuk menciptakan skema keuntungan baru, yang sama sekali berbeda dengan apa yang ada di pasar saat ini. Tentu, dengan tetap memperhatikan pihak-pihak yang berkolaborasi dengan perusahaan healthtech seperti para dokter hingga perusahaan asuransi.

“Jadi orang-orang atau dokter itu (saat ini) masih berupaya, 'oh kalau ada orang sakit, mereka datang ke rumah sakit, dokter dapat duit' gitu kan, ya. Kita pasien, kita ngeluarin duit. Tapi justru mindset-nya ke depan adalah gimana caranya kita kerja sama sama dokter, kerja sama perusahaan asuransi untuk ngejaga kesehatan kita tanpa harus mengorbankan pendapatan dokter dan juga pendapatan perusahaan asuransi," tutur Andreas.

Baca Juga: Sosok Perempuan Pendiri Startup Ini Buktikan Tidak Adanya Batasan dalam Berkarier

Pertumbuhan populasi masyarakat digital

Dengan pandemi yang mengelevasi penggunaan teknologi di kehidupan sehari-hari, masyarakat pun mulai menjamah produk-produk digital yang dulunya belum mendapat atensi besar, misalnya healthtech. Terutama pada segmentasi sosial ekonomi menengah, yang kian bertumbuh.

“Dengan pertumbuhan middle class, mereka bisa memiliki opsi untuk bisa memilih apakah mereka mau ke institusi kesehatan publik—puskesmas, kemudian dan seterusnya—atau mereka langsung mau ke institusi private (swasta),” ujar Andreas.

Masyarakat pada segmentasi ini memiliki fleksibilitas untuk memilih opsi layanan kesehatan terbaik, tidak terkecuali produk-produk besutan startup healthtech. Di kemudian hari, tidak menutup kemungkinan bahwa produk tersebut dapat diadopsi ke ekosistem yang dibuat pemerintah seperti BPJS.

Pembahasan mengenai potensi hingga tantangan yang dihadapi oleh bisnis healthtech di Indonesia ini dikutip dari sinia rOBSESIF musim ketiga, episode kesembilan yang menghadirkan Andreas Dymasius, Senior Investment Associate di Skystar Capital.

Sebagai informasi, Skystar Capital adalah pemodal ventura yang berfokus pada pendanaan awal bagi perusahaan rintisan berbasis teknologi. Selengkapnya, di episode ini Andreas berbincang mengenai faktor-faktor percepatan industri healthtech hingga tips bagi para pendiri startup di bidang ini.

Dengarkan episode Andreas Dymasius: HealthTech in Indonesia, Potential Scalability and Problems di Spotify dengan mengakses https://bit.ly/S3E9Obsesif_A atau klik ikon di bawah!

 Healthtech di Indonesia: Bagaimana Peluangnya di Masa Depan?

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.7 fm
98.9 fm
98.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm