Sonora.ID - Kecepatan dan kemudahan bermediasosial membawa kemudahan dalam akivitas manusia, tetapi di sisi lain, hal yang sama juga membawa dampak yang negatif, salah satunya adalah banyaknya berita bohong atau hoaks atau disinformasi.
Hal tersebut perlu disoroti oleh banyak pihak, karena dengan menangkal berita bohong artinya melindungi generasi muda.
Senada dengan yang disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatikan (Kominfo), Dedy Permadi dalam Media Center Forum Merdeka Barat 9, KPCPEN.
“20 November 2021 lalu kita memperingati Hari Anak Sedunia yang ditetapkan sejak tahun 1954, untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak di seluruh dunia. Namun ancaman hoaks dan disinformasi masih juga membayangi anak-anak, termasuk di Indonesia,” ungkapnya.
Analisis UNICEF di tahun 2021 yang merujuk pada sebuah studi di Jerman pada tahun 2020, ungkap Dedy, melaporkan bahwa 76% dari sekitar 2,000-an anak usia 14-24 tahun, setidaknya terpapar misinformasi atau disinformasi sekali dalam seminggu.
Survei lain dari UNICEF di 10 negara pada tahun 2019 juga menemukan, bahwa 3⁄4 dari 14 ribu lebih responden kaum muda yang disurvei tidak dapat menentukan kebenaran dari informasi yang diterima.
Selain itu, di laporan yang sama, ditemukan bahwa penyebaran misinformasi/disinformasi oleh mahasiswa di Indonesia dilakukan dengan motivasi untuk menyenangkan diri sendiri atau tanpa alasan tertentu.
“Kondisi tersebut tentu harus menjadi perhatian bersama. Tentu kita tidak ingin generasi muda kita untuk terus diancam hoaks dan disinformasi, bahkan turut menyebarkan hoaks dan disinformasi,” tegas Dedy.
Baca Juga: Geram dengan Hoaks, Kominfo Bagikan 5 Cara Indikasi Kabar Bohong