Selain berat menerima kenyataan, para orang tua korban juga bingung membayangkan bagaimana masa depan anaknya dan lingkungan yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
Lebih lanjut, Diah mengatakan jika peristiwa ini sangat menguras emosi semua pihak, apalagi saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orang tua.
"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya.
Diah mengatakan jika para orang tua tidak mau mengurus anak yang dilahirkan dari perbuatan cabul guru ngajinya, P2TP2A siap menerima anak tersebut.
Baca Juga: 5 Pondok Pesantren di Kubu Raya Terima Bantuan dari Lembaga Kesehatan PBNU
Sebab, para orang tua korban bukan orang-orang tergolong mampu.
Mereka kebanyakan hanyalah buruh harian lepas, pedagang kecil dan petani.
Bahkan para orang tua sebelumnya berharap mendapat keuntungan agar anaknya bisa pesantren sambil sekolah dengan gratis di sana.
"Alhamdulillah, yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," katanya.
Begitu juga dengan orang tua korban yang anaknya telah memiliki dua anak dari guru pesantren tersebut.
Baca Juga: Kata Aktivis Perempuan Soal Pelecehan Seksual di Kampus dan Pesantren