Sonora.ID - Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang beragama, di dalam negara ini ada 6 agama yang diakui oleh negara, serta beberapa kepercayaan lainnya di luar 6 agama tersebut yang juga memiliki banyak pengikut.
Tak heran jika orang-orang di luar Indonesia melihat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang religius karena dinilai sering beribadah, taat dengan ajaran agama, dan hidup dengan dasar agama tersebut.
Namun, jika memang religiositas menjadi dominasi di negara ini, lalu mengapa masih ada orang jahat?
Bukankah orang yang religius adalah orang yang baik?
Dalam siaran di Radio Smart FM, seorang Motivator Arvan Pradiansyah menyatakan bahwa kebaikan dalam diri seseorang memang memasukan unsur atau variabel religiositas itu sendiri, begitu juga pada kejahatan yang dilakukan oleh seseorang.
Tetapi pihaknya juga menegaskan bahwa ternyata religiositas tersebut tidak menjamin seseorang menjadi orang baik.
“Ternyata bahwa religiositas itu tidak menjamin seseorang itu menjadi orang baik. Bahkan ada orang, pemuka agama, dia memperkosa 12 santriwatinya dan itu terjadi selama bertahun-tahun,” papar Arvan tegas.
Tak perlu mencari contoh yang sulit dan jauh, bahkan pemuka agama saja bisa melakukan hal yang benar-benar dinilai jauh dari ajaran agama tersebut.
Kisah ini menjadi sorotan masyarakat Indonesia, pasalnya kisah kejahatan ini terjadi bertahun-tahun dan sangat sistematis.
Baca Juga: Dua Tipe Orang Religius yang Melakukan Kejahatan,
“Kok bisa segitu? Kita memasukkan faktor religiositas, ternyata religiositas itu tidak jaminan bahwa orang itu orang baik. Apa itu religius? Religus itu adalah orang yang taat beribadah, rajin salat, rajin berzakat, rajin puasa, rajin ke gereja, rajin beribadah, menggunakan simbol keagamaan, agama apapun,” sambugnya menambahkan.
Sedangkan orang yang rajin beribadah tersebut, dinilai oleh masyarakat sebagai orang yang akan mencerminkan agamanya melalui pemikiran, perkataan, dan perbuatannya.
Lalu mengapa orang tersebut justru melanggar ajaran agama tersebut?
“Ada dua jenis orang religius yang berbuat jahat. Yang pertama adalah orang itu memang sebenarnya orang jahat yang berpura-pura religius, atau yang kedua adalah orang yang religius kemudian dalam perjalanan waktu dia menjadi orang jahat karena merasa dalam zona nyaman,” tegas Arvan.
Jadi, ketika ada orang religius yang berbuat jahat dalam perjalanannya, Arvan menyatakan bahwa orang tersebut merasa dirinya sudah mendapatkan kepercayaan dari banyak orang sehingga ia kemudian berbuat jahat.
Kepercayaan dari orang banyak bahwa ia akan berbuat baiklah yang membuat orang religius tersebut seakan diberikan kesempatan untuk berbuat jahat.
“Kita harus melihat dari berbagai sudut pandang, kita perlu lihat niatnya, intention,” sambungnya.
Baca Juga: Makna Lagu ‘Savage’ – aespa, Kisah Sakit Hati dan Balas Dendam?