Sonora.ID - Pada 23 April 2016, Indonesia menandatangani Perjanjian Paris yang isinya kurang lebih membahas tentang Perubahan Iklim.
Ditandatanganinya Perjanjian Paris menuntut negara yang bersangkutan untuk mencapai target lingkungan melalui Nationally Determined Contribution (NDC).
Pemerintah melalui Presiden Jokowi dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan berbagai target berdasarkan rentangnya.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Andriah Feby Misna selaku Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM.
Dalam siaran Radio Sonora (20/1/22), Feby mengatakan Indonesia memiliki target jangka pendek, menengah, dan panjang.
"Untuk jangka pendek, presiden menetapkan target sebesar 23 persen untuk bauran EBT di tahun 2025," ujarnya.
Di tahun 2050 mendatang, menurutnya Indonesia akan terus dilimpahkan PR untuk mengembangkan EBT.
Terkhusus jangka panjang tahun 2060, Indonesia menargetkan Net Zero Emission melalui pembangkit energi bebas karbon.
Baca Juga: Menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) Wamenkeu Beberkan Tantangan yang Harus Diatasi!
Substitusi Energi yang Dilakukan
Salah satu implementasi dari 'Indonesia bebas karbon' mendatang adalah adalah mobil listrik.
Menurutnya mobil listrik ini berpotensi besar dalam mereduksi emisi karbon layaknya mobil/kendaraan saat ini.
Terlebih, PLN saat ini sedang memilki surplus energi yang bisa dialokasikan untuk sumber bahan bakar mobil listrik.
Pemanfaatan surplus energi ini juga berpotensi untuk mengurangi impor BBM yang saat ini masih tinggi.
Selain berusaha mengganti pemakaian BBM, pemerintah juga berupaya mengganti solar dengan biodiesel secara masif.
Potensi Distribusi dan Teknis EBT di Indonesia
Selain potensi EBT yang besar di Indonesia, Feby mengatakan kalau EBT ini cukup terdistribusi di berbagai wilayah.
"Energi matahari merupakan sumber energi yang bisa diperoleh di berbagai pelosok di Indonesia," tuturnya.
Terkhusus energi air atau hidroenergi, ini biasanya tersebar di Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Papua.
Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi, dan Kalimantan memiliki potensi energi angin.
Selain energi matahari yang tersebar meluas, bio-energi juga dapat diakses relatif mudah karena bahan baku dasarnya berasal dari limbah, entah itu limbah pertanian, tumbuhan, sampah, dan sebagainya.
Terkhusus potensi ekonomi dan teknis, Indonesia sendiri cukup dimudahkan dengan adanya teknologi yang sudah bisa diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat lokal, salah satunya adalah energi berbasis hidro.
Di luar dari itu, Indonesia masih menghadapi kendala teknis, mengingat ini merupakan teknologi mutakhir dan canggih.
Terlepas dari berbagai potensinya, Indonesia kerap menerima kritik keras dari aktivis lingkungan yang menuntut agar pemerintah mampu lebih ambisius mencapai target Perjanjian Paris tersebut.