Sonora.ID - Seorang Ekonom Senior Faisal Basri menilai bahwa permasalahan minyak goreng yang langka dan mahal dipasaran merupakan ulah dari pemerintah sendiri.
Faisal menilai bahwa pemerintah gagal dalam melakukan tugasnya hingga membuat harga minyak goreng tiba-tiba merangkak naik dan mahal.
Faisal Basri mengkoreksi kesalahan pmerintah dimana kebijakan yang kurang tepat membuat penyerapan CPO yang tadinya didominasi oleh industry pangan kini bergeser ke industry biodiesel.
Hal tersebut terjadi lantaran adanya kebijakan B20. Produsen CPO dinilai akan lebih menjual CPO mereka keperusahaan biodiesel ketimbang perusahaan minyak goreng.
Sebab harga jual CPO ke pasar biodiesel doestik jauh lebih tinggi dari harga yang didapat jika menjual keprusahaan minyak goreng.
Baca Juga: Minyak Goreng Langka, Wali Kota Medan Gandeng Polisi dan Forkopimda Lakukan Penelusuran
"CPO jual ke perusahaan minyak goreng harganya menggunakan harga domestik tapi kalau jual ke perusahaan biodiesel dapatnya harga internasional. Otomatis pilih (menjual ke) biodiesel, dan siapa itu yang buat seperti itu? Ya pemerintah. Jadi biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini adalah pemerintah karena meninabobokan pabrik biodiesel," tegas Faisal Basri dikutip dari Kontan.co.id, Rabu (16/2/2022).
Faisal dalam hal ini tidak hanya mengkritik tindakan pemerintah, tapi juga memberi saran dimana pemerintah seharusnya dapat melakukan segala cara untuk mengatasi lonjakan harga CPO, misalnya dengan dana stabilisasi minyak goreng.
Berbeda dengan industri biodiesel yang memperoleh subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).
"Masa tidak rela Rp 20 triliun untuk stabilisasi harga minyak goreng, mengapa yang namanya perusahaan biodiesel dapat ratusan triliun dari tahun 2015 sampai 2021. Rp 7 triliun dana subsidi minyak habis tidak dilanjutkan. Pelit ke rakyat," kata Faisal.
Faisal kembali memperhitungkan komposisi pengguna CPO dalam negeri industry pangan tahun 2019 sebesar 58,9 persen menurun dari tahun ke tahun hingga 2021 menjadi 48,4 persen.
Baca Juga: Harga Minyak Goreng Tak Wajar, Kemendag Minta Hapus Para Penjual Nakal di E-commerce
Penurunan penggunaan CPO ke industry pangan diperkirakan masih akan berlangsung pada 2022, bahkan dalam perhitungan Faisal akan menyentuh angka 46,6 persen dari jumlah sebelumnya.
Semua berbanding terbalik dengan komposisi penggunaan CPO di industry biodiesel pada 2019 hanya 34,5 persen.
Selanjutnya naik dari tahun ke tahun pada 2021 menjadi 42,9 persen.
Lebih lanjut Faisal menjelaskan, alokasi dana BPDPKS sangat jomplang. Dimana alokasi dana BPDPKS dari Juli 2015 sehingga Desember 2021 untuk subsidi biofuel mencapai Rp 110 triliun atau 79,04 persen. Kemudian untuk peremajaan sawit rakyat hanya 6,6 ton atau 4,73 persen.
"Ini pemerintah, tidak ada keberpihakan ke rakyat. Ini dana rakyat 34 persen itu dari keringat rakyat. Siapa pengusaha pengusaha sawit itu ada 22 yang menikmati subsidi biodiesel," ungkapnya.
Kondisi saat ini disebut sebagai diskriminasi terhadap harga CPO untuk industri biodiesel dan industri pangan.
Baca Juga: Minyak Goreng Langka, Wali Kota Medan Gandeng Polisi dan Forkopimda Lakukan Penelusuran
Faisal tidak setujui jika kelangkaan minyak goreng akibat tingginya jumlah ekspor CPO Indonesia yang dinilai menyebabkan kelangkaan CPO.
Hal tersebut lantaran ekspor CPO Indonesia hanya naik nol koma sekian persen. Demikian juga penurunan produksi sawit juga bukan merupakan biang keladi kelangkaan minyak goreng.
Faisal mengakui produksi CPO tahun 2021 mengalami turun, namun diklaim sangat sedikit sekali.
"Kenapa 2021 turun? Cara pemupukan 2019 kurang bagus sehingga produksinya 2021 turun, produksinya kecil turunnya cuman 0,2 doang bukan karena kelangkaan CPO sekali lagi. Ini Ekspor kita juga nggak meningkat tajam kok cuma nol koma sekian meningkatnya harga melonjak di pasar internasional ekspor itu nggak naik bukan karena ekspornya tinggi," papar Faisal Basri.
Baca Juga: Mendag RI Tinjau Pasar di Makassar, Stok Minyak Goreng Kosong