Jakarta, Sonora.Id - Presiden Rusia Vladimir Putin sejak Kamis (24/2/2022) resmi memerintahkan operasi militer ke Ukraina, dan tentu langkah tersebut menuai banyak kecaman dari banyak negara di dunia. Berbagai sanksi internasional pun telah dilayangkan oleh berbagai negara kepada Rusia, seperti Amerika Serikat yang telah memberikan sanksi ekonomi.
Akademisi Program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Reynaldo De Archellie, dalam wawancara khusus dengan Radio Sonora, Minggu (27/2) mengatakan sanksi ekonomi yang diberikan oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris merupakan pilihan yang paling rasional, dan paling memungkinkan untuk dilakukan saat ini dalam politik internasional. Mengingat saat ini Ukraina belum menjadi anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO).
“Kalau berbicara sanksi ekonomi itu adalah opsi atau alternatif kebijakan rasional dalam hubungan antar negara di kawasan Uni Eropa khususnya. Ketika ada salah satu anggota PBB yang melakukan, istilahnya melanggar Code of Conduct-nya ya, maka anggota yang lain itu berhak memberikan sanksi. Nah, saat ini yang baru terlihat, yang paling mungkin adalah ekonomi,” kata Archel.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 pada Perjanjian NATO tentang klausul pertahanan kolektif; ‘Para pihak setuju bahwa serangan bersenjata terhadap satu atau lebih dari anggotanya di Eropa atau Amerika Utara akan dianggap sebagai serangan terhadap semua anggota.’ Oleh sebab itu menurut Archel, saat ini status Ukraina yang bukan bagian dari NATO, menyebabkan negara-negara NATO ataupun Amerika Serikat tidak dapat melakukan mekanisme militer, untuk membantu Ukraina menghadapi operasi militer Rusia secara langsung.
“Karena kalau diberikan sanksinya secara militer kan mekanismenya belum ada, karena Ukraina bukan atau belum menjadi anggota NATO, Ketika mungkin nanti Ukraina sudah menjadi anggota NATO, baru artikel (pasal) kelima NATO itu berfungsi,” ujarnya.
Baca Juga: Pengamat Komunikasi USAHID: Krisis Rusia-Ukraina Akan Segera Berakhir
Baca Juga: Rusia Makin Ganas! 12 Negara Ini Siap Bela Ukraina, Indonesia Berpihak ke mana?
Akar Perseteruan Ukraina dan NATO dengan Rusia
Archel menambahkan dari sudut pandang Bangsa Rusia, Kiev merupakan ibukota pertama Bangsa Rus (Rusia), yang mulai ditempati pada akhir abad kesembilan. Kiev merupakan kota dengan posisi strategis, dimana berada di bantaran Sungai Dnieper yang alirannya mencapai Kota Konstantinopel, pusat perdagangan dunia pada masa itu.
“Secara history bahwa cikal bakalnya sebenarnya Kiev itu adalah ibukota pertama negara Rus, Kerajaan Rus, terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu, terjadi peperangan antar kerajaan di bagian utara,” ungkapnya.
Pada abad ke-17, setelah melewati serangkaian perang wilayah Kiev pun terbagi menjadi dua, bagian timur dikuasai oleh Kekaisaran Rusia, dan bagian barat dikuasai oleh Polandia bersama dengan sekutunya, hal tersebut berlanjut hingga Kekaisaran Rusia jatuh dan digantikan dengan Uni Soviet, dan pada tahun 1991 bersamaan dengan bubarnya Uni Soviet, Ukraina pun mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai sebuah negara.
Seperti diketahui pasca merdeka sebagai sebuah negara, berbagai dinamika pun terjadi di Ukraina, salah satunya terkait dengan kedekatan Ukraina dengan NATO. Menurut Archel, hal inilah yang menyebabkan munculnya potensi berbahaya dalam hal pertahanan dan keamanan teritorial Rusia.
“Setelah Uni Soviet bubar tahun 1991 akhir, Ukraina kemudian memerdekakan diri, jadilah mereka negara yang berdaulat. Itu kan dinamikan menjadi berubah, nah perubahan inilah yang kemudian lambat laun membuat Rusia merasa keamanan teritorialnya menjadi potensi serangan dari negara-negara NATO,” katanya.
Selain itu pasca bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991, NATO dan Amerika Serikat yang memiliki identitas sebagai pionir dan ‘gembala’ dari ideologi liberal-demokrasi, terus menyebarkan pengaruhnya ke negara-negara Eropa Timur. Hal inilah yang menurut Archel telah menciptakan kegusaran bagi Rusia, mengingat sejatinya NATO adalah pakta pertahanan dan keamanan, sehingga Rusia pun harus memiliki cara untuk mengimbangi kekuatan pertahanan dan keamanan negaranya.
Mereka (NATO) mulai memperlebar keanggotaannya ke negara-negara bekas sosialis atau komunis Uni Soviet, perlahan-lahan mulai masuk. Nah ini, penambahan anggota baru ini membuat Rusia mulai merasa gusar, jadi mereka (Rusia) menganggap bahwa ini kan lama-lama nanti makin dekat ke wilayah mereka (Rusia), tentunya karena NATO adalah pakta pertahanan, tentu Rusia harus berpikir pertahanannya.
Sementara itu dari sudut pandang Rusia, tanpa harus bergabung dengan NATO, Ukraina dinilai dapat menjadi sebuah negara yang mandiri, otonom, dan independen dalam setiap kebijakan negaranya. Oleh sebab itulah Rusia ingin agar Ukraina tetap menjadi sebuah negara independen. Archel juga menilai, apabila Ukraina benar-benar bergabung dengan NATO, potensi ancaman pada pertahanan dan keamanan Rusia dapat semakin meningkat. Sebagai pakta pertahanan dan keamanan, tentu akan ada peluang untuk masuknya sistem pertahanan NATO di Ukraina dan akan menjadi ancaman bagi pertahanan dan keamanan Rusia, maka dari itu dengan menggunakan kerangka logika pertahanan, Rusia harus melakukan langkah-langkah tertentu, untuk dapat mengimbangi mekanisme pertahanan dan keamanan NATO.
“Dalam pandangan Rusia, Ukraina bisa saja sangat otonom, sangat independent dalam menunjukan kebijkan luar negerinya tanpa harus menjadi anggota NATO. Rusia maunya Ukraina itu independen ga harus jadi anggota NATO, karena kalau Ukraina jadi anggota NATO, Rusia makin merasa potensi ancamannya membuat Rusia semakin besar, nanti kan bisa saja misalnya NATO menambah kapabilitas dan kapasitas persenjataannya semakin mendekat ke perbatasan Rusia,” tutup Archel.